Membesarkan Anak yang Ulet dan Tangguh (Part 1)

Saya punya seorang anak perempuan berusia 5,5 tahun, yang menurut saya pribadi hidupnya jauh lebih enak dibandingkan hidup saya dulu. Anak-anak generasi alfa (kelahiran 2013 ke atas) memang menikmati banyak kemudahan dibandingkan generasi orang tua mereka (umumnya generasi millenial). Bukan hanya karena mereka lahir di jaman AI seperti ChatGPT dan Dall-E, tapi juga karena mereka hidup di kondisi ekonomi yang jauh berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.

Saya tumbuh besar di keluarga yang sangat sederhana. Dulu saya pergi ke sekolah diantar sepeda atau kadang becak langganan. Baru setelah saya duduk di bangku SMA saya beruntung bisa diantar mobil ke sekolah. Meski keluarga kami akhirnya punya mobil sendiri, ke mana-mana, saya tetap banyak menggunakan kendaraan umum seperti KRL (yang kala itu gerbongnya jorok dan bau pesing), bus besar busuk seperti metromini, atau bajaj. Sementara, putri saya sejak lahir ke mana-mana diantar mobil. Tidak tahu rasanya ke panas-panasan naik angkutan umum di kota besar yang kejam seperti Jakarta (saya besar di Jakarta). Dia juga tinggal di kota kecil yang relatif tidak macet dan padat.

Waktu kecil saya harus menunggu hari raya dulu untuk dapat baju baru. Kalau mau mainan baru? Ya harus berdoa dan menabung dulu sebelum berani minta ke orang tua. Masa kecil saya habiskan dengan berpindah-pindah rumah dan sekolah karena selama bertahun-tahun keluarga kami tidak punya rumah sendiri. Kami terus mengontrak sebelum akhirnya punya rumah sendiri waktu saya kelas 4 SD. Di rumah pertama kami, listrik sempat padam selama 6 bulan jadi kami hidup dengan lampu petromaks selama berbulan-bulan.

Putri saya lahir dan besar di rumah sendiri yang jauh lebih nyaman dari rumah kontrakan tempat saya tumbuh besar dulu. Sejak lahir dia punya kamar sendiri yang ber-AC, kasur dan selimut yang hangat, serta ruang bermain terpisah tempat menampung mainan-mainannya. Dia tidak tahu bahwa tidak semua orang punya rumah sendiri, tidak semua anak tumbuh di rumah dan lingkungan yang sehat. Tidak semua anak punya akses ke air bersih dan tinggal di rumah beratap yang aman dari hujan, banjir, dan panas.

Saya dulu sekolah di sekolah negeri, dan jujur ada banyak kenangan tidak menyenangkan di sana. Anak saya sekolah di sebuah sekolah internasional dan bisa jalan-jalan ke luar negeri minimal setahun sekali. Intinya, anak saya belum tahu dan paham bahwa dia lahir dengan begitu banyak privillage yang tidak dimiliki orang tuanya dulu.

Pengalaman hidup dulu dan sekarang sangat mempengaruhi cara berpikir saya tentang membesarkan anak. Apalagi yang saya takutkan kalau bukan membesarkan anak menjadi orang dewasa yang manja, tidak mandiri, tidak ulet dan tidak tangguh? Tidak ada yang tahu umur manusia dan, mungkin terdengar klise sekali tapi benar, bahwa hidup ini seperti roda yang terus berputar. Usaha siapa saja bisa bangkrut, siapa pun bisa mati muda karena penyakit atau kecelakaan, harta bisa hilang, dan keberuntungan bisa berakhir, bertukar dengan kemalangan. Yang bisa saya lakukan adalah menyiapkan anak saya agar menjadi pribadi yang ulet, tangguh, dan kuat, agar bisa menghadapi apapun yang dunia berikan padanya di masa depan.

Pertanyaannya, bagaimana caranya membesarkan anak (yang hidupnya serba enak begini) menjadi manusia yang mandiri, ulet, dan tangguh?

Salah satu keterampilan terpenting yang bisa kita bekali pada anak adalah keterampilan untuk menyelesaikan masalah. Sebagai orang tua kita sering kali tergoda untuk segera menyelesaikan masalah anak, mulai dari membereskan kamarnya, memakaikan dia sepatu atau menyiapkan tas sekolahnya. Padahal, kalau kita memberikan mereka kesempatan untuk belajar melakukan semuanya sendiri, mereka akan menemui berbagai tantangan dan kalau kita tidak segera membantunya mereka akan mencoba menemukan solusi untuk setiap masalah.

Kedua, saya berusaha mengajarkan emotional intelligence atau kecerdasan emosional kepada putri saya. Emosi, positif atau pun negatif, adalah hal yang manusiawi. Semua orang merasakannya. Yang penting adalah mengajarkan anak cara menghadapi dan mengatasinya. Saya mengajarkan anak saya untuk mengenali dan memberikan nama pada setiap emosi yang dialaminya. Contoh, “ini kamu sedang marah” atau “kamu lagi sedih ya?”. Saya juga berusaha memvalidasi perasaannya saat dia sedih dan kecewa, misalnya, “Mama paham kamu kecewa” atau “kamu boleh marah dan menangis tapi tidak boleh memukul Mama atau teman, ya.” Lalu saya juga mengajarkan cara menghadapi emosi tersebut misalnya dengan menarik napas panjang atau beristirahat sejenak saat marah dari apapun yang sedang dilakukan. Kenapa kecerdasan emosional ini penting? Karena kecerdasan emosional yang baik akan membantu kita menjadi manusia yang lebih sabar, kuat, tahan banting, dan tidak mudah menyerah.

Ketiga, menunda memberikan apa yang dia inginkan, meskipun itu sekadar mainan murah. Sering kali dia menginginkan sesuatu seperti mainan plastik atau aksesoris rambut saat jalan-jalan ke mall. Kelihatannya murah dan sepele, tapi kalau mau berpikir sedikit, dia sudah punya banyak benda-benda sejenis. Kalau terbiasa mendapatkan sesuatu dengan mudah dia tidak akan belajar menghargai sesuatu yang dia miliki. Jadi saya biasanya menolak dengan halus dan memberikan pengertian, misalnya dengan bilang, “Kamu sudah punya banyak aksesoris seperti itu” atau kalau dia belum punya barangnya, saya akan bilang, “Yuk, menabung dulu. Nanti pas kamu ulang tahun Mama belikan.” Kalau dia menangis (sering terjadi. :p) saya peluk dan tenangkan. Kalau tantrum di tempat umum? Gendong dan bawa menjauh dari TKP. πŸ™‚ Tidak perlu dimarahi, tapi keinginannya juga tidak dituruti.

Nah poin ketiga ini terkait dengan “memberikan batasan” atau “boundaries”, tentang apa yang boleh atau tidak. Banyak orang tua, yang karena alasan tidak sanggup menghadapi anak menangis dan mengamuk, langsung memberikan apa yang mereka inginkan. Padahal, boundaries atau batasan itu sangat penting. Anak harus kenal batasan dan tahu bahwa orang tua mereka konsisten menerapkannya. Tujuannya adalah mengajarkan anak tentang aturan-aturan sosial yang tertulis maupun tidak, dan mengajarkan mereka menguasai diri dan emosinya ketika apa yang mereka inginkan tidak bisa terpenuhi. “Boundaries” yang jelas juga membekali mereka untuk menghadapi realita hidup bahwa ada terlalu banyak hal dalam hidup yang tidak bisa mereka kontrol dan satu-satunya yang bisa mereka kendalikan adalah cara mereka merespons setiap kekecewaan dan kekalahan.

(Bersambung ke part 2).

Ketika Keluarga Bukan Segalanya

“Family is everything, Ra…”

Begitu kata salah satu teman baik saya, yang usianya 10 tahun di atas saya, setelah kami ngobrol tentang hidup selama beberapa menit. Saya terdiam. Benarkah keluarga adalah segalanya? Hal pertama yang terlintas di benak saya saat kalimat itu meluncur dari bibirnya adalah, “Kamu pasti besar di keluarga yang bahagia ya, Kak… Yang tidak pernah merasakan kebencian dan kemarahan luar biasa terhadap seseorang yang memiliki hubungan darah denganmu…”

Jadi saya akan mengatakan kalimat yang mungkin dikutuk banyak orang di sini, dalam banyak kasus keluarga bukanlah segalanya. Banyak anak-anak yang besar dalam keluarga disfungsional, yang orang tuanya sangat abusive, yang tidak tahu dan tidak mau tahu caranya menjadi orang tua. Banyak saudara kandung yang berakhir membenci satu sama lain, entah karena persaingan antar saudara dalam mendapatkan perhatian orang tua atau karena berebut harta warisan.

Banyak anak-anak yang harus tumbuh besar menyaksikan orang tuanya bertengkar dan membenci satu sama lain. Mereka mungkin melihat bagaimana bapaknya menyiksa ibunya, berselingkuh, dan memperlakukan ibunya tidak lebih baik dari memperlakukan anjing liar yang buang air di depan rumah. Mereka mungkin juga menyaksikan sang ibu menumpahkan sumpah serapah setiap hari kepada si bapak karena kesal setelah bertengkar tentang uang belanja untuk yang ke sejuta kalinya. Mereka mungkin juga harus menahan pedihnya dibentak, dipukul, dihina, dipermalukan, dan diabaikan oleh orang tua mereka sendiri.

Lalu masih ada juga keluarga carut marut karena misalnya bapaknya tukang kawin, punya istri lebih dari satu, dan anak-anak yang jumlahnya lebih banyak dari yang bisa dia kasih makan. Lalu anak-anak ini sibuk bertengkar meributkan siapa yang pantas mendapatkan hak atas rumah, tanah, atau siapa yang harus mengurus orang tua saat mereka sudah tua dan sakit. Kalau mereka dari keluarga yang ekonominya menengah ke atas, masing-masing akan hire pengacara untuk menuntut satu sama lain dengan tuntutan perbuatan tidak menyenangkan atau, lagi-lagi, karena berebut warisan.

Saya besar di keluarga yang sangat complicated. Detailnya tidak akan saya tulis di sini, yang jelas pengalaman hidup mengajarkan saya bahwa keluarga atau orang yang memiliki hubungan darah itu bukan segalanya. Ketika orang-orang yang memiliki hubungan darah malah lebih sering menyakiti, membully, menyiksa dan membuat kita tidak bahagia lahir dan batin, haruskah kita menganggap mereka segalanya?

Jadi adakah “orang-orang” yang pantas kita anggap sebagai “segalanya”? Ada. Mereka adalah orang-orang yang mungkin tidak memiliki hubungan darah dan datang ke dalam hidup kita setelah kita dewasa namun membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dan bahagia. Saya menemukan banyak orang-orang seperti ini. Teman-teman yang baik dan setia. Yang siap mengulurkan tangannya saat saya membutuhkan. Yang menerima saya apa adanya. Saya juga menemukan seseorang yang kemudian menjadi pasangan hidup saya. Dia membawakan saya begitu banyak cinta dan kebahagiaan. Dialah yang kemudian menjadi “keluarga sejati” saya.

Seorang teman bertanya apa saya tidak takut menyesal hanya memiliki satu orang anak saja. Apa saya tidak takut kelak anak saya akan kesepian. Saya tersenyum. Saya bilang saya berdoa dan berharap kelak anak saya akan menemukan orang-orang yang akan menjadi “keluarga sejati” untuknya. Orang-orang yang memberikannya harapan dan semangat untuk terus menjalankan hidup. Karena darah bukan segalanya dan karena hidup terlalu singkat untuk dihabiskan menangisi saudara dan keluarga impian yang tidak pernah kita miliki.

πŸ™‚

Ode to My Daughter

Dear Reina,

When you’re scared and feeling lonely,
Please come home
When your heart breaks and you need someone to hold,
Please come home
When life feels so unfair and you don’t feel like waking up in the morning,
Please come home
When the world feels too big and you’re overwhelmed
Please come home

Dear Reina,
When you really need to cry and keep asking why,
I’ll be here, please come home
When luck and happiness turn into misery,
I’ll be here and hold you warm
When life leaves you with no choices but to stand up and fight,
I’ll hold your hand and together we walk over the storm

If you can’t run
Please walk home
If you can’t walk,
I’ll run to you and carry you home
Even when you have nothing else
Please know that Mama will always be your home.

Haura Emilia

January 2024

Butterfly

Fly away, dear Baby Butterfly

Heaven is waiting for you

Fly away, Baby Butterfly

The world is not a good enough place for you

It doesn’t deserve you

Fly away, Little Butterfly

Your wings are meant to spread to a much more beautiful place

A place where angels sing

Away from malice and suffering

Fly away, my Baby Butterfly

Do you know that most adult butterflies only live one to two weeks?

You were a baby, so you flew away faster

But don’t be afraid

Mommy is here so please wait

Fly away, My Dear Butterfly

Please start your new journey with a smile

And wait for Mama dan Papa there for a while

One day, we’ll meet again

When the right time comes

You’ll be back in our arms

Haura Emilia

January 2024

(To my dear friend Sarah who lost her daughter, may you and your family finally find peace within. RIP baby Shannara🩷.)

Piano

Memiliki dan belajar piano adalah salah satu impian masa kecil saya. Dulu di rumah orang tua memang ada organ tua, tapi karena keterbatasan ekonomi, saya tidak pernah secara resmi belajar piano. Saya hanya pernah belajar pianika jaman sekolah dulu.

Fast forward 25 tahun kemudian, putri saya Reina minta les piano. Saat itu umurnya belum genap 5 tahun. Dia melihat piano di studio musik milik orang tua teman sekolahnya dan bilang ke saya kalau dia ingin belajar main piano. Saya terkejut karena sebelumnya tidak terpikir untuk mengirim anak umur 4 tahunan kursus piano. Tapi saya iyakan walaupun waktu itu di rumah kami belum ada piano. Saya pikir saya lihat saja dulu keseriusan Reina, kalau benar tertarik baru kami belikan pianonya.

Sembilan bulan kemudian, Reina ternyata masih konsisten mau les piano. Kami pun memutuskan untuk membelikannya piano pertamanya. Piano dari brand Roland, seri Rp107, yang setelah riset dan tanya toko musiknya, sudah lebih dari cukup untuk pemula dan akan bisa dia pakai sampai SMA dan bahkan dewasa nanti.

Reina sangat excited. Dengan riang dia latihan piano di rumah setiap hari. Dia bukan prodigy, cuma anak-anak biasa yang tertarik dengan piano. Tapi tidak apa, saya percaya kerja keras dan konsistensi akan terbayar suatu hari nanti. Pelan-pelan, yang penting tidak menyerah.

Demi mendukung dia belajar, saya juga mendownload aplikasi belajar piano untuk saya. Ya, saya juga ikut belajar. Meski saya sudah mulai ubanan dan otak mulai lemot.πŸ˜‚ Tujuan utama saya satu, supaya dia semangat melihat Mamanya yang sudah menua ini masih mau belajar.

Ternyata, ada lagi manfaat saya ikutan belajar piano. Saya jadi lebih bisa mengapresiasi usaha dan proses belajar Reina. Ternyata tidak mudah ya belajar piano itu. Butuh kekuatan jari untuk menekan tuts dan konsentrasi untuk membaca not balok. Saya sampai keringatan belajar beberapa menit saja. 😁 Apalagi Reina yang jari-jarinya masih sangat halus dan kecil. Plus sekarang dia sudah bisa baca not balok, sudah lebih pintar dari Mamanya. 😁 Jadi memang belajar piano bagus untuk perkembangan kognitif plus motorik halus anak. Selain itu melatih fokus dan konsentrasi juga.

Semoga kamu sabar dan tekun belajar pianonya ya, Rei. Kelak kalau kamu sudah lebih besar Mama akan ceritakan tentang mimpi masa kecil Mama bermain piano. Dan semoga ketika hari itu datang, kita berdua bisa bermain piano bersama, sambil tidak lupa bersyukur.

Cheers,

Haura Emilia

Teman

Beberapa waktu lalu sekolah anak saya mengadakan pelatihan psikologi tentang menjadi konselor untuk keluarga untuk para orang tua dan wali murid. Saat itu saya mendapatkan kesempatan mengambil tes kepribadian yang sangat terkenal bernama MBTI. Hasilnya masih sama dengan yang saya dapatkan setahun yang lalu saat mengambil tes yang sama online. Saya adalah seorang INTJ-T.

Saat melihat hasil tes saya, ibu psikolog menyarankan saya untuk mulai membuka diri saya kepada orang lain karena hasil tes itu dan beberapa tes lain menyatakan bahwa saya 100% introvert. Saat itu saya ingin tertawa sinis sedikit dan bilang, “I’m sorry, Mam. But most people I know can’t be trusted. And oh, by the way, with how everything’s going on in our lives these days, with war and all bullshits, don’t we all start losing our faith in humanity?” Tapi saya lalu memilih untuk tidak mengatakan apa-apa, karena saya tidak nyaman membagikan hal yang personal di hadapan sekitar 20an orang asing. Saya datang ke pelatihan itu untuk belajar, bukan untuk curhat atau menyampaikan pandangan pesimis saya tentang apa pun.

Lalu saya pulang ke rumah memikirkan soal ini. Apakah memang benar saya terlalu introvert? Apakah itu alasannya saya hanya memiliki sedikit sekali teman dekat? Atau memang saya sebenarnya tidak memerlukan label introvert untuk menjelaskan kenapa semakin tua teman saya semakin sedikit? Logika saja, toh. Semakin tua lingkup sosial saya semakin mengecil. Saya sudah tidak sekolah dan kuliah lagi. Lalu saya juga sudah tidak bekerja kantoran seperti dulu lagi. Belum lagi suami saya sudah 10 tahun WFH, jadi lingkungan sosial kami memang sangat sempit.

Saya sebenarnya sudah mencoba berkenalan dengan orang-orang baru selama beberapa tahun terakhir. Saya mencoba membuka diri dengan ikut terlibat di acara-acara sekolah anak saya, berkenalan dengan orang tua murid dan menjadi bagian dari acara kumpul-kumpul seperti arisan, dan saya juga aktif ikut kegiatan olahraga seperti yoga di berbagai studio dan gym. Saya pikir saya akan mendapatkan teman-teman baru. Oops.

Dari sekian banyak orang-orang yang saya temui dan kenal belakangan, apa saya akhirnya mendapatkan seseorang yang bisa saya sebut “teman”? Ada. Satu atau dua orang. Itu pun mungkin hampir. Hampir teman. Sisanya? Saya akan menyebut sisanya sebagai “acquaintance” atau terjemahan terdekatnya mungkin “kenalan”.

Kenapa? Apa yang salah? Saya atau mereka? Sama seperti semua manusia di muka bumi, saya percaya kami semua abu-abu. Punya sisi baik, sisi kurang baik, insecurity, kelebihan, dan kekurangan masing-masing. Ada kalanya mereka membuat saya tertawa dan tersenyum lebar, membuat saya bersemangat bertemu, namun ada kalanya juga mereka membuat saya berpikir, “Really??! You really said that? I thought we were friends, or at least got along pretty well.” Saya menyadari bahwa hubungan kami sangat superficial dan transaksional. Dangkal dan hanya terjalin ketika ada goal yang harus kami capai.

Karena beberapa kali kecewa dengan beberapa orang dan situasi, saya memutuskan untuk menjaga jarak. Tidak terlalu dekat tapi tidak menarik diri juga. Seperlunya saja. Tidak benci, tapi juga tidak lagi berharap kami akan menjadi bestie.😬 Benar, akhirnya saya memutuskan untuk menurunkan ekspektasi saya supaya tidak kecewa lagi.

Jadi sekarang kalau bicara tentang teman, ya memang kata itu mengacu kepada orang-orang yang sudah saya kenal sejak jaman purba. Yang sudah saya kenal 15-20an tahun lamanya. Yang selalu ada di saat-saat saya susah. Yang menemani saya di titik-titik terendah dalam hidup saya. Yang membuat saya mengurungkan niat saya untuk mati muda, sesederhana karena saya tidak ingin meneruskan kesedihan saya ke mereka.

Saya sudah tidak mau memaksakan diri untuk mencari teman baru. Berkenalan dengan orang baru tetap saya lakukan tapi dengan lebih santai, tanpa ekspektasi apa-apa, tanpa harapan saya somehow akan menemukan sahabat baru, yang bisa saya bagikan kekonyolan saya hari itu tanpa malu, atau yang bisa saya telepon saat saya sedih. Terdengar menyedihkan? Mungkin. Tapi mungkin juga tidak. Mungkin yang terpenting bukan jumlahnya, tapi kualitasnya. Kualitas pertemanannya. Mungkin memang sebaiknya kita hanya benar-benar berteman dengan orang-orang yang bisa mengeluarkan dan merawat sisi terbaik kita.

Menjadi Tua

Belakangan saya banyak memikirkan soal hari tua. Awalnya karena saya baru membaca bukunya Peter Attia MD yang berjudul “Outlive”. Buku ini menantang pemikiran-pemikiran lama tentang “aging” atau penuaan, revolusi medis apa yang bisa dilakukan untuk mencapai umur panjang dan memberikan ide tentang bagaimana kita harus menyikapi rencana kesehatan jangka panjang. Peter Attia adalah peneliti “longevity” kawakan yang sangat penasaran tentang penuaan dan prosesnya. Dia bertahun-tahun meneliti mengapa sebagian kecil orang di dunia “beruntung” berumur panjang dan baru sakit menjelang akhir hayat (di usia di atas 90 tahun). Bersama dengan tim-nya, dia berusaha menyibak rahasia penuaan.

Awalnya saya membaca buku ini dengan bersemangat karena bercita-cita ingin mengetahui lebih banyak tentang rahasia umur panjang. Siapa sih yang tidak mau tetap sehat hingga tua dan “berumur panjang” (tidak mati muda)? Tapi lalu sesuatu terjadi dan mengubah sudut pandang saya.

Saya mengunjungi salah seorang kerabat jauh, pasangan yang berumur 82 dan 86 tahun. Sebut saja Bapak A dan Ibu B. Bapak A dan Ibu B ini relatif sehat untuk ukuran usia mereka. Mereka sudah menikah 50 tahun lebih dan sudah punya banyak cucu. Cucu-cucunya saja sudah berumur 30an. Mereka hidup di rumah besar dan berkecukupan dikelilingi anak cucu. Buat kebanyakan orang hidup mereka kelihatan seperti “life goal”, “couple goal”, dan “old-age life goal” banget, lah.

Sampai Ibu B bercerita panjang lebar ke saya. Ibu B cerita kalau suaminya sudah sangat berkurang pendengarannya dan butuh alat bantu dengar. Terus Pak A juga sudah sering pikun, contohnya, sering tiba-tiba secara random keluar rumah terus menghilang dan bikin istri dan anak cucunya panik. Ibu B sendiri belum pikun tapi mata beliau nyaris buta. Buta secara legal karena beneran abu-abu saja yang keliatan, gelap. Mungkin 90% tingkat kebutaannya, dan ini disebabkan oleh kondisi genetik.

Kondisi ini menyebabkan mereka mau tidak mau bergantung pada anak-anak dan cucunya. Melakukan kegiatan sehari-hari pun, seperti mandi dan makan, mereka butuh bantuan. Ini baru masalah fisik, masalah emosional dan psikis lebih dalam lagi. Ibu B bercerita bahwa dia kadang rindu ingin melihat wajah suami, anak, dan cucunya. Wajahnya sendiri pun dia tidak bisa lihat dengan jelas saat bercermin. Dia jadi sering merasa kesepian walaupun hidup dikelilingi keluarga besarnya. Dia juga kadang ingin melihat apa yang masuk ke dalam mulutnya karena dia bahkan tidak bisa mengenali makanan yang tersedia di atas meja.

Ibu B lanjut bercerita tentang adiknya, yang sudah berusia 80 tahun, dan menjanda. Dia bilang adiknya ini mau menikah lagi (kalau masih ada jodoh) sekadar untuk menemukan orang yang bisa menemaninya dan diajak berbagi hingga akhir hayat. Supaya punya teman ngobrol. Supaya ada tempat bercerita.

Saya terhenyak. Pikiran saya langsung melayang ke buku “Outlive”. Saya menghabiskan waktu mempelajari rahasia berumur panjang. Asumsi awal saya begitu naif. Bahwa umur panjang berarti kebahagiaan. Bahwa semua orang menginginkan hidup lama. Setelah mendengar cerita ibu B saya jadi bertanya lagi ke dalam diri, “Yakin mau hidup lama? Kok menjadi tua tidak terdengar terlalu menyenangkan lagi?” Sungguh naif sekali.

Jadi saya memutuskan untuk tidak menyelesaikan membaca buku itu. Mungkin saya tidak terlalu penasaran lagi tentang rahasia umur panjang. Mungkin saya harus berhenti memikirkan masalah angka, dan fokus pada hidup yang saya miliki sekarang. Mungkin yang terpenting bukanlah berapa lama kita hidup, tapi bagaimana kita menjalani hidup.

Cheers,

Haura Emilia

Loss

Lately, I’ve been crying a lot.

Crying for everything I’ve lost.

My innocence.

My old self.

My father.

My freedom.

My belief system.

Old friends.

Old habits.

Things I used to do and enjoy.

I’m faded.

I miss you.

I hate you.

I once told an old friend.

We’re all sad and lonely.

We sometimes wish for life to end.

Because certain things are too hard to forget.

Because some wounds never heal.

I sometimes wish I could go to his grave and kneel down.

To curse him.

To tell him how much I hated what he did to us.

To tell him how I wish I’d never miss him.

Not even for a minute.

But that’d be a lie.

I still miss him.

People come and go.

Someone new.

Be they’ll never be you.

Never take your place.

So I’m left alone.

Hating him and myself even more.

They’ll never be you.

You’ll never come back.

A part of me is forever lost.

When your 5 years old has a mind of her own and she wants you to know…

Ada sesuatu yang baru-baru ini saya sadari sepenuhnya tentang putri saya Reina. Umurnya baru 4 tahun 11 bulan, tapi dia sudah menunjukkan jati dirinya lewat semua perilakunya. Apa maksudnya?

Pertama, Reina menunjukkan kemandirian yang mungkin tipikal untuk banyak anak seumurnya, di mana mereka ada dalam fase ingin menunjukkan bahwa mereka bisa melakukan segala sesuatu sendiri. Yang menurut saya menjadi khas karakternya adalah betapa dia sangat persisten dan gigih dalam usahanya melakukan segala sesuatu sendiri. Tidak jarang dia protes kalau saya mencoba membantunya dan kadang dia marah karena putus asa saat usahanya tidak berhasil.

Kedua, dia menolak keras setiap diberi tahu atau dikoreksi dengan cara tidak hormat seperti banyak cara orang dewasa memberi tahu atau mengoreksi anak-anak. Contoh, kalau dia salah memasang sepatu kanan dan kiri dan saya berseru “Rei, itu salah. Kebalik!” atau saat dia misalnya memasukkan nasi ke dalam es teh dan saya kelepasan setengah berteriak dan melarangnya dia akan langsung marah. Dia hanya mau mendengarkan kalau saya memberitahunya dengan cara yang halus dan sopan. Bahkan akan lebih baik lagi kalau saya tidak langsung segera mengoreksinya dan membiarkannya salah lalu belajar dari kesalahannya sendiri. Contoh, ketika dia mencoba menulis dengan pulpen dan tintanya tidak keluar karena dia memegang pulpennya terlalu miring, dia lebih suka mencari tahu sendiri kenapa tintanya tidak keluar, walaupun awalnya dia akan marah dulu.πŸ˜‚

Ketiga, dia bergerak dan berfungsi seperti orang dewasa dalam tubuh kecilnya. Contohnya, saat pergi ke restoran dia akan langsung mencari wastafel dan mencuci tangannya sendiri TANPA bertanya atau bahkan melihat saya atau papanya dulu. Saat saya hendak memanggilnya untuk bertanya dia mau kemana suami saya segera menghentikan saya dan mengajak saya untuk mengamatinya saja dulu dari jauh. Saya jadi hanya terpesona melihatnya mencari wastafel dan mencuci tangan.

Observe, observe, observe. Hanya turun tangan saat dia meminta bantuan atau melakukan sesuatu yang berpotensi membahayakan diri, orang lain, dan lingkungan. Begitu para praktisi Montessori dan suami saya mengajarkan. Dan percaya atau tidak, itu juga yang Reina ajarkan kepada saya.

Yang saya tangkap dan interpretasikan dari semua perilakunya adalah bahwa dia ingin menunjukkan kepada saya bahwa dia adalah individu yang terpisah dari saya, bahwa dia memiliki caranya sendiri untuk melakukan segala sesuatu dan meminta kami menghormati caranya itu. Dia juga ingin menunjukkan bahwa dia punya cara berpikir, keinginan, kesukaan dan ketidaksukaannya sendiri. Dia juga tidak ragu mengatakan kepada saya apa yang menurutnya lucu atau tidak, menyampaikan kepada saya bahwa dia sedang merasa senang atau marah, yang menunjukkan perkembangan emosionalnya.

Tentu saja dia masih anak-anak biasa yang suka ngambek, marah, tantrum, dan “keras kepala” saat sesuatu tidak berjalan sesuai keinginannya. Tapi semarah apapun dia, dia tidak pernah takut menunjukkan emosinya kepada saya, dapat mengidentifikasi apa yang dia rasakan, lalu saat sudah tenang dia akan menghampiri saya dan bilang bahwa dia sudah tidak marah. Dia bahkan sudah bisa meminta maaf tanpa saya minta. Saya pikir ini progress yang luar biasa. Lain kali saya akan tulis bagaimana saya membantu Reina mengenali berbagai macam emosi dan bagaimana menghadapinya.

Terakhir, yang juga kelihatan sangat khas adalah kemampuan dia untuk mulai bisa membicarakan masa depan dalam konteks sederhana. Contoh, selama masa liburan sekolah ini dia sudah bisa memberi tahu saya tentang rencana dan jadwal dia saat masuk sekolah nanti.πŸ˜‚ Contoh, dia bilang ke saya begini, “Mama, aku nonton setiap hari karena libur aja, nanti pas masuk sekolah aku gak nonton lagi. Aku mau belajar, les piano, les renang dan doing math activities sama Mama aja. Weekend baru aku nonton lagi”.πŸ˜‚ Saya tentu tertawa mendengar dia ngomong sepanjang dan selancar itu tentang rencana ke depannya. Ini berarti otak kirinya, yang berperan besar dalam urusan berpikir logis dan linear, sudah semakin berkembang. Ini juga menunjukkan kepribadiannya yang kelihatannya senang membuat rencananya sendiri dan sudah bisa mengambil keputusan-keputusan sederhana terkait dirinya.

Reina sungguh mengajarkan saya banyak hal, bukan saja tentang dirinya tapi juga tentang diri saya. Dia membuat saya sadar bahwa bahkan anak dan orang tua perlu berkenalan sambil pada saat yang sama berusaha mengenali diri masing-masing. Dan dalam usaha pengenalan dan perkenalan diri ini, kami harus selalu mencari cara untuk berkompromi, mencari jalan tengah, dan berkomunikasi. We always have to meet each other halfway.

πŸ™‚

Haura Emilia

3 July 2023

The Scariest Place

Beberapa hari yang lalu saya ngobrol dengan tiga orang sahabat baik saya. Sampailah saya pada sebuah kesimpulan bahwa tempat paling mengerikan adalah alam pikiran kita. Pikiran menyimpan pemikiran (thoughts), emosi, kenangan, persepsi dan memiliki peran penting dalam membentuk pandangan dan pengalaman kita tentang dunia.

Walaupun saya menyadari bahwa alam pikiran juga sumber kreativitas, pusat pemecahan masalah, dan refleksi diri, bagi saya dan mungkin juga bagi banyak orang alam pikiran adalah tempat yang paling menakutkan.

Sampai sekarang saya takut kalau harus lewat kuburan malam-malam. Di alam pikiran saya ada banyak hantu dan makhluk halus yang mengintai. Padahal kalau dipikir-pikir, katakanlah makhluk halus memang ada, persepsi bahwa mereka jahat sebenarnya dibentuk oleh film-film horor yang mengkapitalisasi ketakutan manusia dengan menjadikannya sumber uang. Jangan-jangan sebenarnya mereka tidak peduli sama kita dan tidak berniat mengganggu. Saya sendiri dulu lumayan sering lewat kuburan karena rumah lama saya dekat dengan makam, tapi saya belum pernah sekali pun ketemu hantu atau makhluk halus. Jadi sebenarnya ketakutan saya bersumber di dalam kepala saya sendiri.

Di dalam otak manusia ada yang namanya ‘amygdala’. Mengutip ChatGPT, “Amygdala adalah sebuah struktur kecil yang terletak di dalam otak, lebih tepatnya di lobus temporal, yang berperan penting dalam pengolahan emosi, pembentukan memori, dan respons terhadap rangsangan yang berhubungan dengan emosi, terutama ketakutan dan ancaman.”

Berhubung amygdala adanya di otak, otomatis di situ ada bagian dari alam pikiran kita juga. Kebayang kan ada banyak emosi dan rasa takut yang tersimpan di sana? Apalagi kalau kita memiliki trauma tertentu. Wah, alam pikiran bisa jadi tempat yang paling menakutkan. Contoh, dulu saya punya kenangan buruk tentang ondel-ondel, jadi sampai sekarang kalau ketemu ondel-ondel saya milih merem, gak mau liat. Solusinya gimana? Terapi atau hipnoterapi kali, ya?

Belum lagi kalau kita bicara soal kesehatan mental. Ada ratusan gangguan jiwa yang menciptakan ketakutan pada alam pikiran penderitanya. Bayangkan orang-orang yang punya masalah “intrusive thoughts” atau pikiran-pikiran negatif yang terus berulang, atau orang yang punya masalah anxiety, gangguan panik, sampai ke yang parah seperti skizofrenia. Alam pikiran adalah sebuah dunia yang mampu menyesatkan penderita gangguan-gangguan ini.

Terus, jangan lupa ada yang namanya persepsi, atau pandangan kita tentang segala sesuatu di dunia. Kalau kita tidak sadar bahwa persepsi kita TIDAK SAMA dengan realita atau fakta, kita berpotensi depresi atau stres berkepanjangan karena tidak mampu melihat segala sesuatu secara objektif. Kita bisa berpikir bahwa persepsi kita adalah sebuah kebenaran ketika sebenarnya itu cuma asumsi, berdasarkan pengalaman hidup dan pengetahuan kita tentang dunia. Asumsi kita tentang sesuatu bisa jadi sering salah karena misalnya kita terlalu emosional (baperan), cacat berlogika karena kurang ilmu dan pengalaman misalnya yang menyebabkan kita tidak memiliki kapasitas untuk berpikir objektif dan netral.

Kondisi ini bisa diperparah oleh ketergantungan kita terhadap media sosial. Contoh, kita bisa jadi mudah baper membaca status atau postingan orang. Solusinya kalau ini sebenarnya mudah: block, unfollow, unfriend, mute, atau tidak usah dilihat sama sekali status atau postingan orang yang berpotensi bikin kita “gerah”. Tapi kalau sudah jadi adiksi atau candu, hal ini akan lebih sulit dilakukan. Coba pelan-pelan lepaskan kecanduan dengan melakukan hal lain selain stuck di depan hape, misalnya dengan main bola, masak, melukis, baca buku, atau sekadar pergi keluar untuk menyentuh rumput, atau apalah.

Terakhir, dalam alam pikiran banyak orang ada monster yang bernama “insecurity”. Karena insecure, kita jadi susah bahagia karena persepsinya terhadap banyak hal jadi negatif. Orang lain salaaah terus, diri sendiri kuraaang terus, dunia gelaaap melulu, masa depan suraaam selalu. Ya namanya juga insecure. Solusinya harus belajar membangun self-esteem sendiri. Gimana? Bisa dengan terapi ke profesional, menambah skill biar lebih percaya diri, belajar meditasi mungkin? Dan belajar untuk berdamai dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Susah? Iye, emang. Saya gak bilang ini mudah, kok.

Kesimpulannya, alam pikiran bisa jadi tempat paling mencerahkan sekaligus mengerikan. Saya sendiri juga kadang takut sama pemikiran saya sendiri, sedikit-sedikit curiga sama bias kognitif dan punya banyak trust issue. Nah, buat saya so far solusinya adalah dengan menulis. Menulis membantu saya mengosongkan sebagian pikiran saya yang selalu penuh. Buat orang lain, solusinya harus cari coping mechanism sendiri-sendiri. Sesuatu yang bisa kita andalkan saat kita stres, misalnya melakukan kegiatan yang kita suka seperti hobi atau ngobrol dengan orang yang kita percaya.

Satu saran lagi, untuk mengurangi beban pikiran dan membantu kita melihat hidup dari kaca mata yang lebih cerah, kita bisa mendekatkan diri dengan orang-orang yang memang positif saja buat perkembangan pribadi dan mental kita. Kalau gak suka sama sesuatu atau seseorang, hindari sebisa mungkin orang itu (walau memang susah juga kalau orang yang kita gak suka tinggal serumah atau dekat sama kita, seperti… mertua. Hahaha… Awas ada yang baper, sekali lagi ini cuma contoh, ya). Ya dicari solusinyalah gimana supaya tidak perlu terus menerus menjalin hubungan konstan dengan hal atau orang-orang yang toksik atau tidak berfaedah bagi hidup dan kesehatan mental kita. Not easy, sure, but POSSIBLE.

Mari berjuang dan bertumbuh untuk jadi lebih sehat secara mental dan gak melulu stuck atau tersesat di tempat yang paling menakutkan di dunia.

Cheers,

πŸ™‚