Saya awalnya mau menulis postingan ini dalam bahasa Inggris, tapi terus saya putuskan untuk menulisnya dalam bahasa Indonesia dulu. Selanjutnya mungkin akan saya tulis dalam bahasa Inggris. Kenapa? Karena sebenarnya saya mau sekalian curhat. π€ͺ Lebih enak curhat dalam bahasa ibu ye kan?
Anyway, belakangan saya mulai aktif cari-cari lebih banyak pekerjaan freelance menerjemahkan lagi berhubung saya sudah ada waktu luang sedikit lebih banyak (dan sudah lelah minta uang jajan ke suami. haha…). Tapi… Realisasi pahit menampar saya. Dunia localization alias terjemahan sudah semakin berubah sejak kehadiran AI (Artificial Intelligence) macam ChatGPT… Kenapa bisa begitu?
Ya iya, hasil terjemahan Inggris-Indonesia ChatGPT tidak kalah dari Google Translate. Beberapa tahun yang lalu saya pernah menulis panjang kali lebar soal neural machine translation (silakan baca di sini: https://wp.me/p5QqXp-17m). Di situ saya tulis bahwa di masa depan posisi penerjemah akan punah, digantikan oleh AI. Well… the future is here now… It’s starting…
Saya menyadari ini saat melihat tawaran pekerjaan terjemahan yang masuk ke email saya sekarang kebanyakan PE alias Post Editing, di mana materi terjemahan sudah diterjemahkan oleh mesin (seperti Google Translate atau ChatGPT) dan penerjemah manusia hanya bertugas mengeditnya saja. Berhubung hasil terjemahannya sudah lumayan bagus, kerja penerjemah manusia jadi ringan. Enak kan? Iya sih… Tapi… Otomatis tarifnya jadi JAUH LEBIH RENDAH. Muahahaha… Tertawa sumbang. Jadi waktu itu ada klien yang menawarkan saya pekerjaan, dia menawar SEPEREMPAT dari tarif normal terjemahan saya. Padahal pekerjaannya menerjemahkan lho, bukan PE. Apalagi PE? Duh, tarifnya mengenaskanlah pokoknya. Saya hanya bisa mengurut dada (Jeon Jungkook BTS sambil menangis di pelukannya). Maaf saya susah fokus karena sudah malam.
Terus ya, beberapa tahun lalu saya bekerja sebagai salah satu anggota team reviewer editor terjemahan Go*gl*. Nah, Go*gl* memecat Localization Manager Indonesia karena dianggap sudah tidak terlalu berguna lagi dan mereka ingin fokus membangun AI mereka sendiri (ketar-ketir takut ketinggalan ChatGPT). Mereka kabarnya memecat sekitar 12 ribu karyawan yang job desc-nya mereka anggap sudah kurang penting dan relevan… π₯Ίπ Saya kenal sama mantan manager saya ini, saya beneran syok dan ikut sedih. Tapi yaa mau gimana lagi? Gak bisa juga mau nangis-nangis manja minta kita tetap kerja di sana ke Si Mbah.
Terus, bukan hanya AI seperti ChatGPT akan segera menggusur profesi penerjemah, content writer, screen writer, poet (pujangga) juga akan segera sepenuhnya tergusur. Gak percaya? ChatGPT bisa nulis puisi sesuai tema yang kita request, bisa nulis konten marketing, dan bahkan bisa bantu nulis CV dan karya ilmiah.
Beberapa bulan lalu ada anak teman yang minta masukan ke saya tentang cara menjadi penerjemah freelance. Kala itu ChatGPT belom launching, jadi saya masih agak santai membagikan pengalaman saya. Tapi kalau dia tanya saya lagi sekarang… Saya cuma akan bilang “Carilah calon profesi lain, Dik. Profesi penerjemah akan segera punah”. Kalau penerjemah lama (dan sudah lumayan karatan di industri terjemahan macam suami dan kawan-kawan saya) mungkin masih bisa bertahan karena mereka sudah punya macam-macam skill lain di luar terjemahan itu sendiri. Lah tapi kalau anak baru mau mulai? Sepertinya jadi penerjemah freelance bukan opsi yang menarik.π
Saya pesimis? Terserah deh. Tapi iya, emang sih saya pesimis. Hahaha… Buat yang berpendapat lain monggo. Tapi jujur saya mending nyusun back up plan lah, daripada galau mikirin tarif terjemahan yang makin nyungsep sementara kompetisi makin sengit. Mending saya mulai belajar hal lain, cari income dari sumber lain walaupun sekarang saya masih bekerja untuk beberapa klien sih. Enaknya ngapain, ya? Belajar jadi trader kali, ya? Atau manfaatin tuh si ChatGPT dan kapitalisasi sang teknologi. Saya hanya perlu mencobanya. Ya, kan?π
Haura Emilia