Baru-baru ini saya ngobrol dengan seorang ibu. Tentang hidup, tentang keluarga, tentang anak, dan tentang harapan. Lalu dia bercerita tentang anaknya yang belakangan sering menangis menolak belajar. Anaknya cerdas, rata-rata nilai sekolahnya juga 90an. Di rumah juga Mamanya berusaha keras untuk tidak memarahi atau memaksanya belajar. Jadi kenapa dia menangis?
“Mungkin dia lelah? Overwhelmed? Terlalu banyak beban akademis dan ekskul?” Tanya saya hati-hati. Sang ibu menarik napas dan berkata, “Mungkin”. Menurutnya anaknya hanya mengambil satu ekskul dan satu les (Kumon), sementara teman-temannya mengambil jauh lebih banyak ekskul dan les, setiap hari bahkan. “Kenapa anak saya menangis padahal kegiatan dan bebannya tidak sebanyak anak lain?”
Saya pikir mungkin jawabannya sederhana. Karena setiap anak itu berbeda. Setiap orang punya kapasitas, bakat, minat, gaya belajar, dan cara memproses setiap pengalaman yang berbeda pula. Mungkin bagi anak A ekskul setiap hari dan berton-ton beban akademik bukan masalah. Sementara bagi anak B, aktivitas akademis membuatnya lebih cepat lelah, fisik dan mental. Jadi tidak bisa disamakan.
Saya paham, sebagai orang tua kita punya ketakutan dan kekhawatiran sendiri tentang anak. Kita takut anak kita tidak bisa bersaing di sekolah, tidak bisa berkompetisi di dunia nyata. Kita takut kita tidak bisa memberikan pengasuhan yang optimal. Kita khawatir kalau kelak anak kita tidak akan tumbuh sukses dan bahagia. Kita cemas anak kita kelak akan menyalahkan kita atas hal-hal yang kita lakukan atau tidak lakukan.
Jadi banyak dari kita terobsesi hingga kita lupa tujuan akhir dan sejati pendidikan, yakni membesarkan manusia-manusia yang berkepenuhan. Manusia yang mampu menjadi pribadi yang mandiri, mampu berkontribusi kepada masyarakat, mampu memecahkan masalah-masalah sosial. Dan yang tidak kalah penting, manusia-manusia yang damai dan bahagia, penuh cinta dan kasih. Tujuan akhir pendidikan bukan untuk menjadikan seseorang kaya raya. Bukan pula menciptakan manusia super secara akademik dan hapal ratusan teori dan rumus matematika. Bukan pula untuk melahirkan jenius musik terbaru.
Saya merenung hari ini. Apakah yang saya inginkan dari anak saya Reina? Apa yang paling penting bagi saya untuk dia capai? Apakah dia hanya sekadar objek untuk memenuhi ambisi pribadi saya? Sudahkah saya perhatikan kebutuhan jiwanya (bukan hanya fisiknya)? Sudahkah saya membuatnya tersenyum hari ini? Apakah saya sudah mencoba memposisikan diri saya di sepatunya?
Malam ini saya peluk dia, sebelum dia tidur. Saya bisikkan kepadanya, “Nak, kamu tidak perlu jadi sempurna. Tumbuhlah sesuai dengan fitrahmu. Bergeraklah sesuai kecepatanmu. Temukan jalanmu sendiri. Dan selama kamu berjuang menemukan jalanmu, Mama akan ada di sini untuk membantumu melewati hari-hari yang sulit. Hidup bukan lomba lari 100 meter, kamu tidak perlu cepat-cepat sampai tujuan. Hidup adalah marathon. Panjang dan butuh waktu serta kesabaran untuk mencapai garis finish. Beristirahatlah kalau kamu lelah. Dan kalau suatu saat harimu terasa terlalu berat, Mama akan memelukmu.”
Haura Emilia