Menjadi Tua

Belakangan saya banyak memikirkan soal hari tua. Awalnya karena saya baru membaca bukunya Peter Attia MD yang berjudul “Outlive”. Buku ini menantang pemikiran-pemikiran lama tentang “aging” atau penuaan, revolusi medis apa yang bisa dilakukan untuk mencapai umur panjang dan memberikan ide tentang bagaimana kita harus menyikapi rencana kesehatan jangka panjang. Peter Attia adalah peneliti “longevity” kawakan yang sangat penasaran tentang penuaan dan prosesnya. Dia bertahun-tahun meneliti mengapa sebagian kecil orang di dunia “beruntung” berumur panjang dan baru sakit menjelang akhir hayat (di usia di atas 90 tahun). Bersama dengan tim-nya, dia berusaha menyibak rahasia penuaan.

Awalnya saya membaca buku ini dengan bersemangat karena bercita-cita ingin mengetahui lebih banyak tentang rahasia umur panjang. Siapa sih yang tidak mau tetap sehat hingga tua dan “berumur panjang” (tidak mati muda)? Tapi lalu sesuatu terjadi dan mengubah sudut pandang saya.

Saya mengunjungi salah seorang kerabat jauh, pasangan yang berumur 82 dan 86 tahun. Sebut saja Bapak A dan Ibu B. Bapak A dan Ibu B ini relatif sehat untuk ukuran usia mereka. Mereka sudah menikah 50 tahun lebih dan sudah punya banyak cucu. Cucu-cucunya saja sudah berumur 30an. Mereka hidup di rumah besar dan berkecukupan dikelilingi anak cucu. Buat kebanyakan orang hidup mereka kelihatan seperti “life goal”, “couple goal”, dan “old-age life goal” banget, lah.

Sampai Ibu B bercerita panjang lebar ke saya. Ibu B cerita kalau suaminya sudah sangat berkurang pendengarannya dan butuh alat bantu dengar. Terus Pak A juga sudah sering pikun, contohnya, sering tiba-tiba secara random keluar rumah terus menghilang dan bikin istri dan anak cucunya panik. Ibu B sendiri belum pikun tapi mata beliau nyaris buta. Buta secara legal karena beneran abu-abu saja yang keliatan, gelap. Mungkin 90% tingkat kebutaannya, dan ini disebabkan oleh kondisi genetik.

Kondisi ini menyebabkan mereka mau tidak mau bergantung pada anak-anak dan cucunya. Melakukan kegiatan sehari-hari pun, seperti mandi dan makan, mereka butuh bantuan. Ini baru masalah fisik, masalah emosional dan psikis lebih dalam lagi. Ibu B bercerita bahwa dia kadang rindu ingin melihat wajah suami, anak, dan cucunya. Wajahnya sendiri pun dia tidak bisa lihat dengan jelas saat bercermin. Dia jadi sering merasa kesepian walaupun hidup dikelilingi keluarga besarnya. Dia juga kadang ingin melihat apa yang masuk ke dalam mulutnya karena dia bahkan tidak bisa mengenali makanan yang tersedia di atas meja.

Ibu B lanjut bercerita tentang adiknya, yang sudah berusia 80 tahun, dan menjanda. Dia bilang adiknya ini mau menikah lagi (kalau masih ada jodoh) sekadar untuk menemukan orang yang bisa menemaninya dan diajak berbagi hingga akhir hayat. Supaya punya teman ngobrol. Supaya ada tempat bercerita.

Saya terhenyak. Pikiran saya langsung melayang ke buku “Outlive”. Saya menghabiskan waktu mempelajari rahasia berumur panjang. Asumsi awal saya begitu naif. Bahwa umur panjang berarti kebahagiaan. Bahwa semua orang menginginkan hidup lama. Setelah mendengar cerita ibu B saya jadi bertanya lagi ke dalam diri, “Yakin mau hidup lama? Kok menjadi tua tidak terdengar terlalu menyenangkan lagi?” Sungguh naif sekali.

Jadi saya memutuskan untuk tidak menyelesaikan membaca buku itu. Mungkin saya tidak terlalu penasaran lagi tentang rahasia umur panjang. Mungkin saya harus berhenti memikirkan masalah angka, dan fokus pada hidup yang saya miliki sekarang. Mungkin yang terpenting bukanlah berapa lama kita hidup, tapi bagaimana kita menjalani hidup.

Cheers,

Haura Emilia

Loss

Lately, I’ve been crying a lot.

Crying for everything I’ve lost.

My innocence.

My old self.

My father.

My freedom.

My belief system.

Old friends.

Old habits.

Things I used to do and enjoy.

I’m faded.

I miss you.

I hate you.

I once told an old friend.

We’re all sad and lonely.

We sometimes wish for life to end.

Because certain things are too hard to forget.

Because some wounds never heal.

I sometimes wish I could go to his grave and kneel down.

To curse him.

To tell him how much I hated what he did to us.

To tell him how I wish I’d never miss him.

Not even for a minute.

But that’d be a lie.

I still miss him.

People come and go.

Someone new.

Be they’ll never be you.

Never take your place.

So I’m left alone.

Hating him and myself even more.

They’ll never be you.

You’ll never come back.

A part of me is forever lost.