Membesarkan Anak yang Ulet dan Tangguh (Part 1)

Saya punya seorang anak perempuan berusia 5,5 tahun, yang menurut saya pribadi hidupnya jauh lebih enak dibandingkan hidup saya dulu. Anak-anak generasi alfa (kelahiran 2013 ke atas) memang menikmati banyak kemudahan dibandingkan generasi orang tua mereka (umumnya generasi millenial). Bukan hanya karena mereka lahir di jaman AI seperti ChatGPT dan Dall-E, tapi juga karena mereka hidup di kondisi ekonomi yang jauh berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya.

Saya tumbuh besar di keluarga yang sangat sederhana. Dulu saya pergi ke sekolah diantar sepeda atau kadang becak langganan. Baru setelah saya duduk di bangku SMA saya beruntung bisa diantar mobil ke sekolah. Meski keluarga kami akhirnya punya mobil sendiri, ke mana-mana, saya tetap banyak menggunakan kendaraan umum seperti KRL (yang kala itu gerbongnya jorok dan bau pesing), bus besar busuk seperti metromini, atau bajaj. Sementara, putri saya sejak lahir ke mana-mana diantar mobil. Tidak tahu rasanya ke panas-panasan naik angkutan umum di kota besar yang kejam seperti Jakarta (saya besar di Jakarta). Dia juga tinggal di kota kecil yang relatif tidak macet dan padat.

Waktu kecil saya harus menunggu hari raya dulu untuk dapat baju baru. Kalau mau mainan baru? Ya harus berdoa dan menabung dulu sebelum berani minta ke orang tua. Masa kecil saya habiskan dengan berpindah-pindah rumah dan sekolah karena selama bertahun-tahun keluarga kami tidak punya rumah sendiri. Kami terus mengontrak sebelum akhirnya punya rumah sendiri waktu saya kelas 4 SD. Di rumah pertama kami, listrik sempat padam selama 6 bulan jadi kami hidup dengan lampu petromaks selama berbulan-bulan.

Putri saya lahir dan besar di rumah sendiri yang jauh lebih nyaman dari rumah kontrakan tempat saya tumbuh besar dulu. Sejak lahir dia punya kamar sendiri yang ber-AC, kasur dan selimut yang hangat, serta ruang bermain terpisah tempat menampung mainan-mainannya. Dia tidak tahu bahwa tidak semua orang punya rumah sendiri, tidak semua anak tumbuh di rumah dan lingkungan yang sehat. Tidak semua anak punya akses ke air bersih dan tinggal di rumah beratap yang aman dari hujan, banjir, dan panas.

Saya dulu sekolah di sekolah negeri, dan jujur ada banyak kenangan tidak menyenangkan di sana. Anak saya sekolah di sebuah sekolah internasional dan bisa jalan-jalan ke luar negeri minimal setahun sekali. Intinya, anak saya belum tahu dan paham bahwa dia lahir dengan begitu banyak privillage yang tidak dimiliki orang tuanya dulu.

Pengalaman hidup dulu dan sekarang sangat mempengaruhi cara berpikir saya tentang membesarkan anak. Apalagi yang saya takutkan kalau bukan membesarkan anak menjadi orang dewasa yang manja, tidak mandiri, tidak ulet dan tidak tangguh? Tidak ada yang tahu umur manusia dan, mungkin terdengar klise sekali tapi benar, bahwa hidup ini seperti roda yang terus berputar. Usaha siapa saja bisa bangkrut, siapa pun bisa mati muda karena penyakit atau kecelakaan, harta bisa hilang, dan keberuntungan bisa berakhir, bertukar dengan kemalangan. Yang bisa saya lakukan adalah menyiapkan anak saya agar menjadi pribadi yang ulet, tangguh, dan kuat, agar bisa menghadapi apapun yang dunia berikan padanya di masa depan.

Pertanyaannya, bagaimana caranya membesarkan anak (yang hidupnya serba enak begini) menjadi manusia yang mandiri, ulet, dan tangguh?

Salah satu keterampilan terpenting yang bisa kita bekali pada anak adalah keterampilan untuk menyelesaikan masalah. Sebagai orang tua kita sering kali tergoda untuk segera menyelesaikan masalah anak, mulai dari membereskan kamarnya, memakaikan dia sepatu atau menyiapkan tas sekolahnya. Padahal, kalau kita memberikan mereka kesempatan untuk belajar melakukan semuanya sendiri, mereka akan menemui berbagai tantangan dan kalau kita tidak segera membantunya mereka akan mencoba menemukan solusi untuk setiap masalah.

Kedua, saya berusaha mengajarkan emotional intelligence atau kecerdasan emosional kepada putri saya. Emosi, positif atau pun negatif, adalah hal yang manusiawi. Semua orang merasakannya. Yang penting adalah mengajarkan anak cara menghadapi dan mengatasinya. Saya mengajarkan anak saya untuk mengenali dan memberikan nama pada setiap emosi yang dialaminya. Contoh, “ini kamu sedang marah” atau “kamu lagi sedih ya?”. Saya juga berusaha memvalidasi perasaannya saat dia sedih dan kecewa, misalnya, “Mama paham kamu kecewa” atau “kamu boleh marah dan menangis tapi tidak boleh memukul Mama atau teman, ya.” Lalu saya juga mengajarkan cara menghadapi emosi tersebut misalnya dengan menarik napas panjang atau beristirahat sejenak saat marah dari apapun yang sedang dilakukan. Kenapa kecerdasan emosional ini penting? Karena kecerdasan emosional yang baik akan membantu kita menjadi manusia yang lebih sabar, kuat, tahan banting, dan tidak mudah menyerah.

Ketiga, menunda memberikan apa yang dia inginkan, meskipun itu sekadar mainan murah. Sering kali dia menginginkan sesuatu seperti mainan plastik atau aksesoris rambut saat jalan-jalan ke mall. Kelihatannya murah dan sepele, tapi kalau mau berpikir sedikit, dia sudah punya banyak benda-benda sejenis. Kalau terbiasa mendapatkan sesuatu dengan mudah dia tidak akan belajar menghargai sesuatu yang dia miliki. Jadi saya biasanya menolak dengan halus dan memberikan pengertian, misalnya dengan bilang, “Kamu sudah punya banyak aksesoris seperti itu” atau kalau dia belum punya barangnya, saya akan bilang, “Yuk, menabung dulu. Nanti pas kamu ulang tahun Mama belikan.” Kalau dia menangis (sering terjadi. :p) saya peluk dan tenangkan. Kalau tantrum di tempat umum? Gendong dan bawa menjauh dari TKP. 🙂 Tidak perlu dimarahi, tapi keinginannya juga tidak dituruti.

Nah poin ketiga ini terkait dengan “memberikan batasan” atau “boundaries”, tentang apa yang boleh atau tidak. Banyak orang tua, yang karena alasan tidak sanggup menghadapi anak menangis dan mengamuk, langsung memberikan apa yang mereka inginkan. Padahal, boundaries atau batasan itu sangat penting. Anak harus kenal batasan dan tahu bahwa orang tua mereka konsisten menerapkannya. Tujuannya adalah mengajarkan anak tentang aturan-aturan sosial yang tertulis maupun tidak, dan mengajarkan mereka menguasai diri dan emosinya ketika apa yang mereka inginkan tidak bisa terpenuhi. “Boundaries” yang jelas juga membekali mereka untuk menghadapi realita hidup bahwa ada terlalu banyak hal dalam hidup yang tidak bisa mereka kontrol dan satu-satunya yang bisa mereka kendalikan adalah cara mereka merespons setiap kekecewaan dan kekalahan.

(Bersambung ke part 2).

Ketika Keluarga Bukan Segalanya

“Family is everything, Ra…”

Begitu kata salah satu teman baik saya, yang usianya 10 tahun di atas saya, setelah kami ngobrol tentang hidup selama beberapa menit. Saya terdiam. Benarkah keluarga adalah segalanya? Hal pertama yang terlintas di benak saya saat kalimat itu meluncur dari bibirnya adalah, “Kamu pasti besar di keluarga yang bahagia ya, Kak… Yang tidak pernah merasakan kebencian dan kemarahan luar biasa terhadap seseorang yang memiliki hubungan darah denganmu…”

Jadi saya akan mengatakan kalimat yang mungkin dikutuk banyak orang di sini, dalam banyak kasus keluarga bukanlah segalanya. Banyak anak-anak yang besar dalam keluarga disfungsional, yang orang tuanya sangat abusive, yang tidak tahu dan tidak mau tahu caranya menjadi orang tua. Banyak saudara kandung yang berakhir membenci satu sama lain, entah karena persaingan antar saudara dalam mendapatkan perhatian orang tua atau karena berebut harta warisan.

Banyak anak-anak yang harus tumbuh besar menyaksikan orang tuanya bertengkar dan membenci satu sama lain. Mereka mungkin melihat bagaimana bapaknya menyiksa ibunya, berselingkuh, dan memperlakukan ibunya tidak lebih baik dari memperlakukan anjing liar yang buang air di depan rumah. Mereka mungkin juga menyaksikan sang ibu menumpahkan sumpah serapah setiap hari kepada si bapak karena kesal setelah bertengkar tentang uang belanja untuk yang ke sejuta kalinya. Mereka mungkin juga harus menahan pedihnya dibentak, dipukul, dihina, dipermalukan, dan diabaikan oleh orang tua mereka sendiri.

Lalu masih ada juga keluarga carut marut karena misalnya bapaknya tukang kawin, punya istri lebih dari satu, dan anak-anak yang jumlahnya lebih banyak dari yang bisa dia kasih makan. Lalu anak-anak ini sibuk bertengkar meributkan siapa yang pantas mendapatkan hak atas rumah, tanah, atau siapa yang harus mengurus orang tua saat mereka sudah tua dan sakit. Kalau mereka dari keluarga yang ekonominya menengah ke atas, masing-masing akan hire pengacara untuk menuntut satu sama lain dengan tuntutan perbuatan tidak menyenangkan atau, lagi-lagi, karena berebut warisan.

Saya besar di keluarga yang sangat complicated. Detailnya tidak akan saya tulis di sini, yang jelas pengalaman hidup mengajarkan saya bahwa keluarga atau orang yang memiliki hubungan darah itu bukan segalanya. Ketika orang-orang yang memiliki hubungan darah malah lebih sering menyakiti, membully, menyiksa dan membuat kita tidak bahagia lahir dan batin, haruskah kita menganggap mereka segalanya?

Jadi adakah “orang-orang” yang pantas kita anggap sebagai “segalanya”? Ada. Mereka adalah orang-orang yang mungkin tidak memiliki hubungan darah dan datang ke dalam hidup kita setelah kita dewasa namun membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dan bahagia. Saya menemukan banyak orang-orang seperti ini. Teman-teman yang baik dan setia. Yang siap mengulurkan tangannya saat saya membutuhkan. Yang menerima saya apa adanya. Saya juga menemukan seseorang yang kemudian menjadi pasangan hidup saya. Dia membawakan saya begitu banyak cinta dan kebahagiaan. Dialah yang kemudian menjadi “keluarga sejati” saya.

Seorang teman bertanya apa saya tidak takut menyesal hanya memiliki satu orang anak saja. Apa saya tidak takut kelak anak saya akan kesepian. Saya tersenyum. Saya bilang saya berdoa dan berharap kelak anak saya akan menemukan orang-orang yang akan menjadi “keluarga sejati” untuknya. Orang-orang yang memberikannya harapan dan semangat untuk terus menjalankan hidup. Karena darah bukan segalanya dan karena hidup terlalu singkat untuk dihabiskan menangisi saudara dan keluarga impian yang tidak pernah kita miliki.

🙂