Ketika Keluarga Bukan Segalanya

“Family is everything, Ra…”

Begitu kata salah satu teman baik saya, yang usianya 10 tahun di atas saya, setelah kami ngobrol tentang hidup selama beberapa menit. Saya terdiam. Benarkah keluarga adalah segalanya? Hal pertama yang terlintas di benak saya saat kalimat itu meluncur dari bibirnya adalah, “Kamu pasti besar di keluarga yang bahagia ya, Kak… Yang tidak pernah merasakan kebencian dan kemarahan luar biasa terhadap seseorang yang memiliki hubungan darah denganmu…”

Jadi saya akan mengatakan kalimat yang mungkin dikutuk banyak orang di sini, dalam banyak kasus keluarga bukanlah segalanya. Banyak anak-anak yang besar dalam keluarga disfungsional, yang orang tuanya sangat abusive, yang tidak tahu dan tidak mau tahu caranya menjadi orang tua. Banyak saudara kandung yang berakhir membenci satu sama lain, entah karena persaingan antar saudara dalam mendapatkan perhatian orang tua atau karena berebut harta warisan.

Banyak anak-anak yang harus tumbuh besar menyaksikan orang tuanya bertengkar dan membenci satu sama lain. Mereka mungkin melihat bagaimana bapaknya menyiksa ibunya, berselingkuh, dan memperlakukan ibunya tidak lebih baik dari memperlakukan anjing liar yang buang air di depan rumah. Mereka mungkin juga menyaksikan sang ibu menumpahkan sumpah serapah setiap hari kepada si bapak karena kesal setelah bertengkar tentang uang belanja untuk yang ke sejuta kalinya. Mereka mungkin juga harus menahan pedihnya dibentak, dipukul, dihina, dipermalukan, dan diabaikan oleh orang tua mereka sendiri.

Lalu masih ada juga keluarga carut marut karena misalnya bapaknya tukang kawin, punya istri lebih dari satu, dan anak-anak yang jumlahnya lebih banyak dari yang bisa dia kasih makan. Lalu anak-anak ini sibuk bertengkar meributkan siapa yang pantas mendapatkan hak atas rumah, tanah, atau siapa yang harus mengurus orang tua saat mereka sudah tua dan sakit. Kalau mereka dari keluarga yang ekonominya menengah ke atas, masing-masing akan hire pengacara untuk menuntut satu sama lain dengan tuntutan perbuatan tidak menyenangkan atau, lagi-lagi, karena berebut warisan.

Saya besar di keluarga yang sangat complicated. Detailnya tidak akan saya tulis di sini, yang jelas pengalaman hidup mengajarkan saya bahwa keluarga atau orang yang memiliki hubungan darah itu bukan segalanya. Ketika orang-orang yang memiliki hubungan darah malah lebih sering menyakiti, membully, menyiksa dan membuat kita tidak bahagia lahir dan batin, haruskah kita menganggap mereka segalanya?

Jadi adakah “orang-orang” yang pantas kita anggap sebagai “segalanya”? Ada. Mereka adalah orang-orang yang mungkin tidak memiliki hubungan darah dan datang ke dalam hidup kita setelah kita dewasa namun membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dan bahagia. Saya menemukan banyak orang-orang seperti ini. Teman-teman yang baik dan setia. Yang siap mengulurkan tangannya saat saya membutuhkan. Yang menerima saya apa adanya. Saya juga menemukan seseorang yang kemudian menjadi pasangan hidup saya. Dia membawakan saya begitu banyak cinta dan kebahagiaan. Dialah yang kemudian menjadi “keluarga sejati” saya.

Seorang teman bertanya apa saya tidak takut menyesal hanya memiliki satu orang anak saja. Apa saya tidak takut kelak anak saya akan kesepian. Saya tersenyum. Saya bilang saya berdoa dan berharap kelak anak saya akan menemukan orang-orang yang akan menjadi “keluarga sejati” untuknya. Orang-orang yang memberikannya harapan dan semangat untuk terus menjalankan hidup. Karena darah bukan segalanya dan karena hidup terlalu singkat untuk dihabiskan menangisi saudara dan keluarga impian yang tidak pernah kita miliki.

🙂

Tinggalkan komentar