Obsesi Putih

Tadi siang saya dan beberapa orang ibu-ibu SPA (tempat anak saya sekolah) ngobrol di WhatsApp group soal skin care. Terus salah seorang ibu (sebut saja namanya Marina), yang juga sobat BTS army saya, melontarkan pertanyaan, “Kenapa orang kita terobsesi dengan kulit putih, sih?” Saya mau menjawab pertanyaan Marina di sini, santai saja gaya saya tapi sedikit serius juga, ya. Ingat, ini bukan makalah ilmiah. :p

Ada beberapa alasan mengapa ada stereotip yang beredar di masyarakat kita bahwa banyak orang Asia terobsesi dengan warna kulit putih. Alasan pertama menurut saya adalah sejarah kolonialisme. Pengaruh kolonialisme Barat di Asia, terutama pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, telah menciptakan kompleks inferioritas di kalangan masyarakat Asia terhadap kulit mereka sendiri. Kolonialisme sering kali mengasosiasikan kulit putih dengan superioritas rasial dan status sosial yang lebih tinggi, sedangkan kulit gelap dianggap sebagai tanda inferioritas. Pengaruh ini masih terasa hingga saat ini dalam persepsi kecantikan di beberapa masyarakat Asia.

Indonesia sendiri pernah dijajah Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Jadi gak heran, kalau warna kulit masyarakat “penjajah” ini terinternalisasi di kepala masyarakat kita sebagai warna kulit yang lebih “baik”.

Kalau kita melirik teori orientalisme-nya Edward Said, kita akan sampai pada kesimpulan yang serupa. Edward Said dalam karyanya yang terkenal, “Orientalisme,” menyelidiki hubungan antara Barat dan Timur, dengan fokus pada pandangan Barat terhadap dunia Timur. Orientalisme adalah suatu pandangan yang dikembangkan oleh para sarjana dan intelektual Barat yang menggambarkan dan menggeneralisasi dunia Timur dengan cara yang bias dan eksotis. Edward Said mengkritik orientalisme sebagai suatu bentuk pemikiran yang mempertahankan kekuasaan dan dominasi kolonial atas Timur.

Dalam konteks ini, orientalisme tidak secara langsung menjelaskan “obsesi masyarakat Asia pada kulit putih.” Orientalisme lebih berkaitan dengan pandangan dan persepsi Barat terhadap dunia Timur, terutama dalam hal penggambaran orang-orang Asia sebagai “eksotis”, “primitif”, atau “bermasalah”. Said berpendapat bahwa orientalisme berperan dalam pembentukan citra Oriental yang dipengaruhi oleh orientalis Barat, yang pada gilirannya menghasilkan pemahaman yang bias dan distorted tentang masyarakat Timur.

Orientalisme juga dapat berdampak pada persepsi internal di masyarakat Asia. Proses kolonialisme dan dominasi budaya Barat telah menciptakan kompleks inferioritas di kalangan masyarakat Asia terhadap kulit mereka sendiri dan idealisasi kulit putih sebagai standar kecantikan atau kesuksesan. Ini bisa menghasilkan obsesi terhadap kulit putih atau adopsi elemen budaya Barat, karena dianggap lebih dihargai atau dianggap sebagai simbol status sosial yang lebih tinggi.

Kedua, obsesi pada warna kulit putih ini dipengaruhi juga oleh media sosial dan industri kecantikan. Industri kecantikan di Asia, termasuk iklan, sinetron, film, majalah, dan media sosial, seringkali mempromosikan dan mengidealisasi kulit putih sebagai standar kecantikan. Iklan produk pemutih kulit, krim pemutih, atau perawatan wajah yang bertujuan untuk mencerahkan kulit sering kali menekankan bahwa memiliki kulit putih akan membuat seseorang “lebih cantik”, “sukses”, atau “menarik secara sosial”.

Belum lagi pengaruh globalisasi Barat di Asia. Standar kecantikan yang diimpor dari Barat, yang menekankan kulit putih sebagai standar kecantikan, telah mempengaruhi persepsi kecantikan di beberapa masyarakat Asia. Pengaruh ini terlihat pada model selebriti, bintang pop, dan tokoh media yang sering kali memiliki kulit putih.

Terakhir, ada faktor budaya juga yang berkontribusi pada “obsesi putih” ini. Beberapa tradisi budaya Asia, seperti dalam beberapa negara di Asia Tenggara, memiliki sejarah panjang yang menghubungkan kulit putih dengan status sosial yang lebih tinggi. Dalam beberapa budaya, kulit yang lebih cerah dianggap sebagai tanda kemakmuran dan keturunan bangsawan, sementara kulit gelap dikaitkan dengan orang-orang yang berasal dari kasta sosial lebih rendah dan status sosial yang rendah pula. Contoh, para pangeran dan putri bangsawan berkulit putih karena mereka tinggal nyaman di dalam istana, sehingga kulitnya terlihat lebih cerah dan bersih. Bandingkan dengan para petani dan rakyat biasa yang harus bekerja di bawah sinar matahari… Kulitnya menjadi lebih mudah terbakar dan “gosong”.

Di lingkungan tempat saya tumbuh, ada banyak orang dewasa yang suka mengolok-olok dan menyebut anak-anak berkulit gelap dengan panggilan “gosong”, “item”, “keling”, dan label berkonotasi negatif lainnya. Ini budaya inferior yang sudah mendarah daging. Menyedihkan sih menurut saya. But we can’t suddenly change people’s mind about something, can we? Yang bisa kita lakukan ya mengedukasi orang sekitar kita bahwa cantik bukan berarti “putih” dan kita, terutama kaum perempuan, tidak perlu kulit putih untuk jadi cantik. 🙂

Gitu aja dulu, ya. Terima kasih sudah membaca racauan saya.

(Bonus foto kembaran saya, Song Hye Kyo, ikon “kulit putih bersinar idaman banyak perempuan Asia”. LOL)

Cheers,

Haura Emilia

Jebakan Produktivitas

Dulu saya suka menulis tentang produktivitas di blog ini dan berusaha menjalani hidup seproduktif mungkin. Saya juga membanggakan diri sebagai orang yang efektif dan efisien dalam mengatur waktu dan menjalani hari-hari saya. Sampai suatu hari saya menyadari saya sangat tidak bahagia gara-gara semua ilusi produktivitas yang memenuhi kepala saya waktu itu.

Ketidakbahagiaan ini berawal dari rasa lelah. Saya tiba di satu titik di mana saya merasa capek dan luar biasa lelah karena selalu memaksakan diri untuk selalu produktif. Tekanan untuk menjadi produktif menjadi pedang bermata dua, yang satu membuat pekerjaan saya selalu selesai tepat waktu dan saya bisa menyelesaikan banyak hal sesuai target, satunya lagi membuat saya bahkan tidak bisa menikmati waktu santai.

Contoh, saat akhir pekan tiba saya sering galau kalau tidak pegang pekerjaan. Saat anak saya kelamaan screen time (karena saya lagi sakit misalnya), saya merasa bersalah karena tidak bisa mengajaknya melakukan aktivitas yang lebih bermanfaat dan dapat menstimulasi tumbuh kembangnya. Saya bahkan merasa bersalah saat sedang sakit karena orang sakit otomatis tidak cukup prima untuk melakukan kegiatan seperti biasa. Terus, kalau sesuatu tidak sesuai target atau ekspektasi saya, saya gusar memikirkan solusi dan ujung-ujungnya menyalahkan diri sendiri yang “kurang produktif” plus “kurang efektif dan efisien”. Wow. Self deprecating sekali.

Pas saya cerita ke Mamat, suami–seorang stoik sejati, dia tersenyum dan bilang, “Santai aja, Yang. Pelan-pelan. Kalau waktunya libur ya libur, waktunya sakit ya istirahat, waktunya makan ya makan. Lupakan dulu urusan pekerjaan atau kewajiban lain. Semua ada waktu dan tempatnya.” Ya bener, sih. Saya memang harus belajar untuk lebih mindful dan present.

Terus saya pikir-pikir lagi. Saya paham juga kenapa saya sempat terjebak dalam ilusi bernama Produktivitas ini. Kita semua terjebak dalam masyarakat kapitalis di mana sistem ekonomi difokuskan pada produksi yang efisien dan output yang maksimal. Dalam sistem ini produktivitas sangat dihargai karena mendorong pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan kemampuan untuk berkompetisi. Kalau semua manusia pada nyantai macam di pantai, wah produksi bisa melambat dan ekonomi bisa stagnan. Jadi banyak dari kita yang, entah secara sadar atau tidak, terpacu untuk terus menjadi “produktif”. Sampai, seperti saya, kadang lupa bahwa hidup tidak melulu perkara menghasilkan sesuatu. Bahwa perjalanan menuju “bahagia” tidak terbatas pada seberapa banyak materi yang kita miliki atau prestasi yang sudah kita capai.

Produktivitas juga bukan hanya bisa mempengaruhi kesehatan mental seseorang, tapi juga berpotensi membawa masalah lain. Produktivitas dapat menyebabkan siklus produksi-konsumsi tanpa akhir yang pada akhirnya menyebabkan overconsumption. Overconsumption maksudnya konsumsi barang dan jasa yang melebihi apa yang diperlukan. Bayangkan kalau pabrik tisu nonstop produksi tisu, ya lama-lama habis juga hutan semuka bumi. Saya juga begitu, kebanyakan mengeluarkan energi demi “hidup produktif”, akhirnya habis juga tuh energi dan akhirnya depresi (Halo, Nopres!).

Wah jadi panjang kan rambling saya. Padahal niat awal nulis ini buat curhat pendek aja. Haha. Ya udah, sampai sini saja. Sekarang saya mau nyantai dulu. Kalau kata Mamat, “Relax… Inhale… Exhale…”

(Foto koleksi pribadi. Kuki, kucing saya yang hilang, icon antiproduktivitas berhubung kerjanya sepanjang hari hanya goler-goler dan baru gerak kalau lapar. :p)

🙂

Haura Emilia