Senyap

Ning tidak ingat sudah berapa kali dia menulis blog dan berbicara tentang kepalanya yang selalu penuh kepada sahabat-sahabatnya, Kris, Ling, dan Fira. Kepalanya penuh dengan suara-suara negatif (yang ternyata dalam bahasa Inggris disebut “rumination”), yang sering kali memicu stres dan cemas. Perempuan yang bekerja sebagai jurnalis di sebuah media online itu sering kali berharap ada tombol di kepalanya yang bisa dia gunakan untuk mematikan suara-suara jahanam itu.

Ning berbicara dengan terapisnya sebulan sekali. Sering kali dia melirik isi rekeningnya dulu sebelum bertemu sang terapis, memastikan saldonya cukup sebelum memakai sepatu karetnya dan memesan gocar yang membawanya ke tempat praktik psikiater perempuan setengah baya itu. Dia selalu mendengarkan Ning dengan sabar. Tapi Ning, yang tumbuh besar dengan luka dan pahitnya hidup, berpikir getir bahwa itu memang pekerjaannya dan dirinya sendiri sangatlah menyedihkan karena dia harus membayar seorang profesional untuk mendengarkan semua celotehan dan keluh kesahnya.

Hari Minggu pagi itu, tepatnya pukul 5, Ning terbangun dengan perasaan mual dan tidak nyaman yang terlalu familiar untuknya. Kecemasan. Anxiety. Dia mencari Alex, suaminya, tapi lalu teringat Alex sedang di luar kota, pergi main golf dengan koleganya. Dengan cemas dia mengambil ponselnya untuk mengecek Instagram dan status WhatsApp. Apakah dia menulis sesuatu yang bodoh semalam? Apakah dia memposting sebuah foto yang memalukan? Apakah dia membuat story yang akan dia sesali seumur hidupnya? Dengan panik dia mulai memeriksa akun Instanya. Kosong. Dia tidak memposting apa pun dalam 24 jam terakhir. Suatu yang langka. Biasanya hampir setiap hari dia mengunggah sesuatu lalu mengecek siapa saja yang melihat postingannya dan memeriksa jumlah like. Pagi itu akunnya bersih dari curhatan dan postingan sampah yang biasanya dia sesali di pagi hari. Dia merasa sedikit lega.

Harusnya dia berhenti di situ. Tapi tidak. Perempuan 34 tahun itu terus menggulir laman feed Instagramnya. Si Ana baru memposting foto dirinya dalam balutan kebaya cantik saat mengunjungi pernikahan putra presiden. Wow, hebat betul gaya Bu Jendral, batin Ning. Scroll. Si Maya memposting foto rumahnya yang tampak megah dengan bangunan gaya Mediterranian di pusat kota. Cih, ini enaknya punya suami kaya raya. Scroll. Andi mengunggah foto liburannya bersafari ke Kenya. Who the fuck is rich enough to go to Kenya to hunt a lion? Ning mengumpat iri. Tidak cukup juga menyiksa dirinya sendiri, Ning terus menggulir laman feed.

Lalu dia menemukan postingan Ayu, teman lamanya, seorang ibu muda yang menikahi seorang konglomerat yang mungkin memberikannya uang belanja 200 juta sebulan sehingga dia bisa santai kuliah lagi, mengambil magister pendidikan anak usia dini lalu membesarkan anak-anaknya dengan Metode Montessori. Ayu sering memberikan ‘kuliah online’ tentang cara membesarkan anak dengan metode ‘gentle parenting’, ‘Montessori’, dan bahkan ‘Reggio Emilia’. Anak-anak Ayu, murid TK dan Kelas 3 SD di sebuah sekolah internasional di Jakarta, adalah anak-anak yang ‘sempurna’. Gloria, 5 tahun, sudah lancar membaca. Arey, 9 tahun, juara kelas. Who fucking cares about Little Miss Perfect? Kalau aku sekaya itu tentu aku juga bisa melakukan yang sama. Sayangnya aku hanya seorang jurnalis miskin dengan suami yang berprofesi sebagai budak korporat biasa. Bahkan Tamara belum lancar membaca di usia 6 tahun karena aku terlalu sibuk bekerja dan tidak sempat menstimulasinya di rumah. Ning berpikir getir. Scroll. Scroll. Scroll. Dia terus menggulir laman Instagram hingga tangannya terasa nyeri. Sungguh luar biasa mengingat dia bahkan belum bangun dari tempat tidur dan menyikat giginya.

Muak dengan Instagram, dia pindah ke WhatsApp. Dia memeriksa status WhatsApp. Si Budi masih saja sibuk berjualan Thai Tea dan makanan beku. Okay, muted. Malas sekali melihat jualan pagi-pagi. Si Ara memposting status lari paginya. 10 KM, mulai jam 5 pagi. Buat apa coba bangun sepagi itu dan lari? Dasar tukang pamer! Minah memposting makan malamnya dari sebuah cafe yang lagi hip di dekat kantor Ning. Aduh kelihatannya enak, kapan aku sempat ke sana, ya? Ning melamun dan membayangkan rasa segar matcha latte dari cafe tersebut, yang belakangan sering dibawa Minah ke kantor mereka, usai break makan siang. Belum puas juga (karena siapa yang tahan tidak kepo mengintip hidup orang lain?), Ning membuka foto Agus, teman SMA-nya, dokter gigi spesialis konservasi, yang tampak sedang fokus merawat pasiennya. Ning langsung merasa kecil, teringat dulu dia gagal ujian masuk Fakultas Kedokteran Gigi UI. Dia akhirnya berakhir kuliah di jurusan pilihan ketiganya, Komunikasi. Dia merasa bodoh. Dan gagal.

Akhirnya dia membuka Youtube, meski tangannya terasa pegal. Dia mencari video lagu baru penyanyi favoritnya, Charlie Puth. Ning tergila-gila dengan Charlie Puth. Kalau saja Alex mengizinkan, dia pasti sudah memasang poster Charlie di kamarnya. Kamu bukan remaja tanggung, Ning. Kamu punya anak dan suami. Kamu tidak malu memangnya ngefans sama laki-laki muda begitu? Tidak, dia tidak malu. Dia menyalak protes dan menyebut Alex misoginis dan hipokrit karena membuatnya merasa buruk mengidolakan penyanyi muda tampan ketika Alex sendiri tergila-gila pada Lionel Messi. Jadi Ning menonton video Charlie Puth sambil tersenyum-senyum sendiri. Lumayan, sejenak dia bisa melupakan kekesalannya pada orang-orang di media sosial yang kelihatannya memiliki hidup yang lebih baik dari dirinya.

Lalu dia mendengar Tamara, putrinya, menangis. Dengan enggan dia meninggalkan tempat tidur dan berjalan ke kamar Tamara. Darahnya terasa mendidih. Kesal sekali rasanya harus berhenti menonton Puth, anti-depressant-nya, saat sedang asyik-asyiknya. Dia membuka pintu kamar bocah perempuan itu. Mama, aku mimpi. Mimpi buruk. Aku melihat monster. Ning mendengus. Tamara terisak. Tamara, monster hanya ada di kartun! Kamu itu kebanyakan nonton Youtube dan TV! Mama kan sudah bilang! Hari ini kamu gak boleh pegang hape dan ipad! Wajah gadis kecil itu memerah. Tangisnya meledak. Mama jahat! Aku benci Mama! You’re a bad mom! Ning terhenyak. Kepalanya terasa berputar.

Ning menatap ponsel di tangannya. Tangannya bergetar. Lalu benda itu jatuh bergulir dari tangannya. Saat menghantam lantai, gadget hitam itu mati seketika. Perempuan itu melirik jam di dinding kamar putrinya. Pukul 9 pagi. Dia bangun pukul 5. Tanpa sadar dia menghabiskan 4 jam dengan ponselnya. Ketika dia harusnya sudah bangun, menyiapkan sarapan, membangunkan Tamara dan mengajaknya untuk jalan pagi atau sekadar cari sarapan di depan kompleks. Dia menghabiskan 4 jam untuk mengutuki orang-orang yang hidupnya tampak lebih bahagia. Dia menghabiskan 4 jam memuja Charlie Puth yang tidak akan pernah meletakkan nasi di piringnya. Ning berdiri diam menatap Tamara yang masih menangis.

Kepalanya terasa penuh. Kecemasan dan rasa bersalah merayapi dadanya, dan menggerogoti tubuhnya. Saat itu dia merindukan tombol tidak eksis itu di kepalanya, berharap suara-suara itu berhenti menghakimi dan memarahi dirinya sendiri. Dia merindukan sunyi, dia menginginkan damai. Dia merindukan senyap.