Burnout

Please don’t read this if you cannot handle me ranting on my current situation.

Warning: this may trigger some anxiety and stress to someone vulnerable. If you’re feeling burnout or depressed, please do seek help. I do and still try to get by each day.

Postingan blog terakhir saya post tanggal 2 April. Itu pun bukan tulisan baru, hanya salah satu esai yang saya tulis tahun lalu buat keperluan kuliah. Ini adalah salah satu masa vakum terlama saya menulis blog. Alasannya klasik. Saya mengalami burnout.

Apa itu burnout? Ini definisi pertama yang saya temukan di Google:

Burnout is a state of emotional, physical, and mental exhaustion caused by excessive and prolonged stress. It occurs when you feel overwhelmed, emotionally drained, and unable to meet constant demands.

Kenapa saya burnout? Because I feel like I have too much on my plate at the moment.

Pertama, saya mengalami yang mungkin dialami jutaan orang lain saat ini. Stres selama pandemi. Sejak tahun lalu saya sudah berusaha menghindari berita tentang Covid karena update terkait hanya memicu stres dan anxiety saya. Tapi di jaman sekarang ini, SUSAH sekali menghindari berita dan perkembangan dunia. Bahkan ketika saya tidak punya TV sama sekali di rumah dan tidak buka situs berita apa pun, saya bisa tetap secara tidak sengaja membuka status WhatsApp seseorang yang berisi update soal Covid. Ketika saya buka Youtube, berita yang trending pasti tentang Covid. Saya tidak klik dan nonton pun, saya tetap tidak sengaja membaca judul berita di thumbnail video. Sekalinya saya buka Instagram untuk update sesuatu, ada saja berita tentang Covid. Kalau saya matikan gadget, saya keluar rumah pun semua orang membicarakan Covid. Ketika saya berhenti keluar rumah, ada saja teman dan keluarga yang mengabari berita duka tentang kerabat atau teman yang meninggal karena Covid. Jadi kecuali saya tinggal sendirian di gua di atas gunung, saya akan tetap tahu tentang nama vaksin yang saat ini dipakai di Indonesia. We simply can’t escape this crazy stream of information every single day. We’re fu**ed up.

Itu alasan pertama. Alasan kedua, saya sedang dalam tahap adaptasi dengan situasi baru di mana anak saya, 35 bulan, sudah berhenti tidur siang sama sekali. Menemani anak dari pagi hingga malam nonstop sambil berusaha menyelesaikan pekerjaan rumah tangga itu tidak mudah (saya tidak punya ART dan tinggal jauh dari orang tua dan mertua). Bahkan ketika saya ingin break sebentar dan pegang hape, Reina akan mendatangi saya dan bilang “Ma, matiin hapenya.” Satu-satunya kesempatan saya break adalah di malam hari ketika anak saya sudah tidur.

Sounds good enough? Oh tidak, setelah Reina tidur malam saya harus catch up dengan tugas kuliah yang rasanya gak habis-habis. Berulang kali saya ingin menyerah karena saya sudah sampai pada titik mual dan ingin muntah. Gak pengen ngapa-ngapain dan cuma mau tiduran dan nonton Youtube (yang mana sekarang itu pun susah saya lakukan, kalau sempat pun tidak lebih dari 30 menit) karena saya keburu ngantuk, harus mengerjakan tugas kuliah, atau harus nyuci piring yang bertumpuk sebelum tidur.

Karena alasan-alasan di atas saya jadi nyaris tidak punya waktu melakukan hal-hal yang saya ingin lakukan seperti membaca buku atau sekadar goler-goler nonton drakor atau BTS di Youtube. Kadang tanpa sadar saya sering menangis tiba-tiba saat memasak atau melakukan pekerjaan lainnya. Saat menemani Reina bermain pun saya sering tidak konsen karena pikiran saya ada di tempat lain, seperti tugas kuliah yang belum kelar, buku baru yang sudah sebulan lebih belum selesai saya baca juga, atau proyek tulisan yang sudah tidak saya update 2 minggu lebih. Pernah sekali saat air mata menetes, Reina mendatangi saya dan bilang, “Ma, jangan nangis Ma…” Muka dia terlihat sedih. I didn’t realize I could affect her in such a way!

Saya jadi mengevaluasi ulang tentang pilihan-pilihan yang saya buat belakangan. Apakah saya sebenarnya butuh kuliah tambahan ini? Sure, I’m learning A LOT from this entire course. Tapi bukan kah saya sebenarnya bisa belajar saja secara mandiri tanpa memberikan lebih banyak beban ke pundak saya? Apakah saya seorang over-achiever yang terlalu terobsesi menjadi orang tua yang lebih baik but along the way losing my sanity and happiness? Kenapa saya harus memaksa diri saya mengikuti reading challenge tahun ini yang membuat saya stres ketika target baca saya keteteran? Kenapa dalam proses membantu anak saya tumbuh berkembang saya memaksakan diri saya sedemikian rupa sampai tidak bisa menikmati prosesnya? Apakah saya sebenarnya hanya mencari-cari cara untuk mengisi kekosongan dan kegelisahan yang saya rasakan sejak saya berhenti bekerja setahun yang lalu? Apakah saya sebenarnya hanya desperate berusaha meningkatkan value saya sebagai seorang ibu dan perempuan dengan mem-push diri saya sedemikian rupa? Apa saya melakukan begitu banyak hal untuk melarikan diri dari stres yang saya rasakan selama pandemi? Why am I doing this to myself?

Tadi malam sebelum tidur, wajah Reina terbayang dan terlintas satu hal di kepala saya. Mungkin yang dibutuhkan seorang anak bukanlah ibu super. Bukan seorang ibu yang punya 3-4 gelar. Bukan seorang ibu yang punya skill memasak seperti seorang chef. Bukan seorang ibu yang paham betul soal teori bermain. Mungkin yang dibutuhkan seorang anak adalah ibu yang bahagia dan benar-benar hadir di setiap moment terkecil dalam hidupnya.

Haura Emilia

18 Juli 2021