Apakah Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) Akan Menggantikan Banyak Profesi di Masa Depan?

Belakangan saya semakin terpana dengan kecanggihan teknologi, salah satunya adalah teknologi kecerdasan buatan atau AI. Dengan bantuan AI, saya berhasil membuat cover novel saya sendiri.

Apa sih sebenarnya kecerdasan buatan itu?

AI atau Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) adalah sebuah cabang ilmu komputer yang berkaitan dengan pembuatan mesin atau sistem yang mampu melakukan tugas-tugas yang membutuhkan kecerdasan manusia, seperti belajar, berpikir, dan mengambil keputusan. AI memungkinkan mesin untuk melakukan tugas-tugas tertentu dengan lebih cepat, efisien, dan akurat daripada manusia.

Contoh dari aplikasi AI termasuk pengenalan wajah, penerjemahan bahasa, game, kendaraan otonom, dan asisten virtual seperti Siri dan Alexa. AI dapat dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain:

  1. Machine Learning: Jenis AI yang memungkinkan mesin untuk belajar dari data yang diberikan tanpa harus secara eksplisit diprogram untuk melakukan tugas tertentu.
  2. Neural Networks: Jenis AI yang meniru cara kerja otak manusia dalam memproses informasi dan memungkinkan mesin untuk “belajar” dari data yang diberikan.
  3. Robotics: Jenis AI yang terkait dengan pengembangan robot yang mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan melakukan tugas-tugas tertentu.

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan AI semakin pesat dan semakin banyak digunakan dalam berbagai aplikasi dan industri. AI diharapkan dapat membantu mengatasi berbagai masalah di dunia, seperti mengurangi kerusakan lingkungan, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan manusia, dan mengembangkan teknologi yang lebih efisien dan berkelanjutan.

Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) memang berpotensi untuk menggantikan beberapa profesi di masa depan, terutama pekerjaan rutin yang mengandalkan tugas-tugas yang dapat diotomatisasi. Sebagai contoh, pekerjaan administratif, pengolahan data, dan tugas-tugas di bidang produksi, transportasi, dan logistik sudah mulai banyak diotomatisasi dengan bantuan teknologi AI.

Namun, bukan berarti semua profesi akan tergantikan oleh AI. Ada banyak profesi yang membutuhkan kemampuan manusia seperti empati, kreativitas, dan kemampuan beradaptasi dengan cepat yang tidak dapat diotomatisasi. Sebagai contoh, profesi yang melibatkan interaksi manusia seperti perawat, psikolog, guru, atau konselor, sangat bergantung pada kemampuan manusia untuk berinteraksi secara empatik dan membantu orang lain.

Selain itu, meskipun teknologi AI dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan lebih cepat dan efisien daripada manusia, namun teknologi tersebut masih memerlukan pengawasan dan pengaturan oleh manusia. Sehingga, walaupun beberapa pekerjaan mungkin tergantikan oleh AI, akan selalu ada kebutuhan untuk manusia untuk mengembangkan dan mengawasi teknologi tersebut.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempersiapkan diri dengan keterampilan yang tidak dapat diotomatisasi seperti kemampuan berpikir kritis, beradaptasi dengan perubahan, kreativitas, dan kemampuan berkolaborasi dengan orang lain. Hal ini akan membantu kita untuk tetap relevan di pasar kerja yang semakin berubah dan berkembang dengan cepat di era digital.

Suatu hari nanti, saat Reina, putri saya, besar, saya kemungkinan besar akan mendorong dia untuk mempelajari AI kalau dia tertarik. Tentu tidak lupa mengajarkannya kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis serta mengasah kemampuannya untuk berempati dan berkolaborasi dengan orang lain.

Cheers,

Haura Emilia

Menulis Novel di Fizzzo (Part 2): Membuat Cover Buku dengan Dall-E

Seperti yang saya tulis sebelumnya, baru-baru ini saya menulis novel berjudul “After Midnight” dan menguploadnya ke aplikasi baca novel gratis Fizzo. Untuk mengetahui lebih banyak tentang menulis di Fizzo silakan baca di sini.

Di tulisan kali ini saya mau cerita sedikit tentang cara saya membuat cover novel saya itu. Saya menggunakan teknologi AI Dall-E untuk membuatnya.

Apa itu Dall-E?

DALL-E adalah sebuah model mesin pembelajaran yang dikembangkan oleh OpenAI, sebuah perusahaan teknologi kecerdasan buatan. Model ini menggunakan teknologi pembelajaran mendalam (deep learning) dan pemrosesan bahasa alami (natural language processing) untuk menghasilkan gambar-gambar yang dibuat secara otomatis berdasarkan deskripsi verbal yang diberikan.

Dengan memanfaatkan teknologi AI (Artificial Intelligence) terbaru, DALL-E dapat menghasilkan gambar-gambar yang sangat realistis dan mengejutkan, seperti gambar-gambar binatang imajinatif atau objek-objek yang aneh dan unik. Model ini dihasilkan dengan melatih sejumlah besar data gambar dan deskripsi untuk mengasah kemampuannya dalam menghasilkan gambar dari deskripsi verbal.

DALL-E dipandang sebagai salah satu prestasi signifikan dalam perkembangan kecerdasan buatan, karena mampu menciptakan gambar-gambar yang sangat realistis dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun, kehadiran model ini juga memunculkan sejumlah pertanyaan etis tentang penggunaannya dan dampaknya terhadap penggunaan citra dan kreativitas manusia.

Balik ke soal membuat cover novel, yang saya lakukan hanyalah mengetik “a silhoutte of a long-haired woman and two men with sunset as the background” di website Dall-E, tunggu beberapa detik dan voila Dall-E membuatkan beberapa gambar berdasarkan deskripsi yang saya tulis itu! 🥲Setelah saya mendownload gambar yang saya mau saya tinggal membuat cover buku dengan aplikasi Canva.

Saya mencoba menulis berbagai macam deskripsi sampai mendapatkan gambar yang saya inginkan. Beberapa gambar memang belum sempurna dan terlihat aneh. Misalnya saya mencoba menghasilkan gambar dengan gaya manga Jepang tapi hasilnya sangat aneh. Ini gambar yang dihasilkan. Hahaha…

Jadi kita memang harus sangat spesifik dalam menulis penjelasan dan tidak berharap akan langsung mendapatkan gambar yang kita inginkan. Perlu diingat juga bahwa Dall-E belum sempurna sehingga kita mungkin sekali tidak mendapatkan gambar yang persis seperti dalam bayangan kita.

But still. Isn’t it scary what technology can do these days? :’)

Cheers,

Haura Emilia

Menulis Novel di Fizzo (Part 1)

Baru-baru ini saya memutuskan untuk memposting novel pertama saya yang berjudul “After Midnight” di aplikasi baca novel Fizzo.

Awalnya, saya sempat berniat mengirimkan naskah saya ke penerbit tradisional semacam GPU, tapi… Setelah saya riset, penerbit tradisional umumnya menetapkan jumlah halaman untuk naskah yang masuk. Masalahnya, buku saya terlalu panjang (sekitar 168.000+ kata atau 630an halaman). Sementara batas maksimal yang diperbolehkan untuk kategori novel adalah 250an halaman. Tidak mungkin saya potong tulisan saya begitu banyak, kan.

Kedua, (setahu saya) biasanya censorship penerbit tradisional lumayan ketat. Bukan hanya konten dewasa (konten seksual grafis) yang disensor, tapi juga konten-konten lain yang mengandung material “sensitif” misalnya diskusi dan pembahasan terkait ideologi, agama, komunitas LGBTQ+, dan lainnya.

Saya ingin cerita saya ditampilkan secara utuh tanpa censorship ketat semacam ini, jadi mengupload novel ke aplikasi baca online seperti Fizzo menjadi alternatif yang saya pilih.

Fizzo juga menawarkan bonus dan bayaran yang lumayan menarik seperti bonus awal setelah kita menulis minimal 30 ribu kata, bonus retensi pembaca kalau tulisan kita minimal sudah dibaca 600 kali, dan seterusnya. Kalau novel kita laris, hasilnya lumayan. Terutama kalau kita penulis pemula macam saya yang belum punya nama dan bukan siapa-siapa. 😄

Tentu saja ada juga kekurangan mengupload cerita kita ke aplikasi baca seperti ini. Salah satunya adalah karya kita dikontrak dalam waktu yang lama oleh aplikasi dan kita menyerahkan hak cipta karya kita sepenuhnya ke aplikasi. Jadi, penulis tidak bisa mengupload karyanya ke aplikasi lain atau menerbitkannya dengan cara apa pun di mana pun termasuk ke penerbit lainnya.

Kedua, selalu ada kemungkinan karya kita tidak laku dibaca apalagi kalau tulisan kita tidak mengikuti “selera pasar” alias mayoritas pengguna aplikasi. Seperti apa selera pasar di Fizzo? Yang mayoritas laku adalah novel genre romance dengan judul seperti… Silakan cek dan nilai sendiri ya di Fizzo. Ya tentunya tidak semua novel di Fizzo itu sama karena kan ada ribuan novel di dalamnya.

Saya sadar alur cerita, judul, dan konten di novel saya tidak masuk kategori “populer”. Tapi tidak populer bukan berarti tidak bagus, toh? 😁 Namanya novel semuanya kembali lagi ke selera dan background pembaca. Tapi saya tidak keberatan kalau misalnya novel saya yang berjudul “After Midnight” tidak bisa menyaingi novel-novel terpopuler di situ.

Seperti yang saya pernah tulis sebelumnya, tujuan utama saya menulis adalah untuk mengosongkan sedikit sebagian ruang di kepala saya yang biasanya selalu penuh. Kedua, buat saya menulis adalah salah satu coping mechanism terpenting bagi saya untuk menangkal stres berlebih. Ketiga, saya selalu percaya bahwa saya punya sesuatu yang penting yang ingin saya bicarakan.

Dalam “After Midnight” saya mengusung tema kesehatan mental dalam proses menuju kedewasaan. Tumbuh menjadi dewasa adalah proses yang menyakitkan untuk setiap orang. Ada banyak rasa sakit dan duka yang kita lalui saat tumbuh dewasa, mulai dari kehilangan air susu ibu, berganti gigi susu, patah hati pertama, hingga kehilangan orang yang kita cintai.

Bagi banyak orang tumbuh menjadi dewasa juga berarti harus melewati luka batin karena tidak mendapatkan cinta dari keluarga atau tumbuh di lingkungan yang tidak suportif.

Saya ingin berbicara tentang hal-hal yang menurut saya penting untuk kita bicarakan. Faktanya, ada banyak anak, remaja, dan dewasa muda yang tumbuh dalam keluarga disfungsional, sehingga mereka kehilangan arah dan kesulitan menerima diri dan terjun ke dalam masyarakat.

Mina, tokoh utama buku ini, tumbuh dibesarkan oleh orang tua tunggal. Perjalanannya menuju kedewasaan tidak mudah, penuh dengan lika-liku kehidupan. Ada banyak tantangan yang harus dia hadapi dalam usahanya menerima dan mencintai dirinya sendiri.

Saya berharap pembaca bisa membaca buku ini dengan pikiran terbuka dan semoga buku ini bisa menyentuh hati banyak orang.

Terakhir, buat penulis novel pemula yang ingin karyanya dibaca orang lain, menulis di aplikasi seperti Fizzo, NovelMe, Wattpad, bisa jadi pilihan. Kalau pun karya kita mungkin tidak akan menjadikan kita penulis kaya dan terkenal, paling tidak kita bisa berbagi sedikit kebahagiaan ke orang-orang yang membaca dan menyukainya. 🙂

PS: Silakan mampir dan membaca novel saya di Fizzo.

Cheers,

Haura Emilia

Shame and Social Disconnection…. Why I’ve Been Away From Social Media

I’ve been away sometimes from Instagram and have almost zero interests to go back to Facebook. The reason is because social media scare the shit out of me. At some points I was so scared that I didn’t even bother checking out my accounts for weeks.

Social media didn’t start to create fear. Facebook was first created because Zuckerberg wanted to create a community. But it ends up feeding your brain with endless new information that gives you serotonin flood, an easy escapade from your day-to-day life. It also, ironically, ends up being a “fear and anxiety factory”.

Social media have created this “never-enough culture”. We live in constant fear of what we are not and what we don’t have. There is this false belief that accumulating things and endlessly improving ourself will protect us from miserable misfortunes in our lives. This never enough thinking generates a cycle of comparison, shame, and social disengagement. I am and perhaps all of us have at least once fallen victims to this narrative.

Often, we attach ourselves and our creations (social media posts and contents for instance) to the way people respond (by likes, comments, and follows). In my case, I fear of being disliked, criticized, or even rejected. I feel shameful after I post something (anything, really) and the shame makes me shy away from presenting my work and expressing my feelings. It stops me from trying and it only isolates me socially. It causes me to disconnect from other people. And when this disconnection becomes too much, I hurt myself. Social disconnection causes real pain, neuroscience has proven this.

My fear and shame were so bad that I even stopped trying to send my book to publishers. It is much easier to avoid sending my work than facing the fear of rejection. I am terrified showing my research (book) because I am scared of being judged and not worth of being loved and accepted. It is sad to think how this false idea has stopped me from doing what I always thought I was supposed to do, that is sharing knowledge. I used to post a lot about my daughter and the way I raised her. But the same shame and fear have stopped me from doing that, too.

Then, I woke up this morning to a notification from Instagram and I saw a post from one of my favorite parenting accounts. I was thinking what if they stopped educating people due to the fear of being disliked and rejected? What if they shied away from sharing information because they thought they were not good enough? Surely a lot of people would miss out on a lot of good insights and perspectives.

So I wrote this. I wrote this because I needed to understand myself and make sense of my own behaviour. I wrote this to empower myself by telling me that I cannot forever hide. That it’s okay to express my feelings and show my creations. That it’s okay to show my vulnerability and weakness (being vulnerable only means I have the capacity to experience emotions, anyway.) Because it might be useful and it might help people who read my writings or see my posts. And I’m sharing this writing here so that it stays forever on this pandemonium called the internet and this will be a constant reminder for me of who I was and how I felt when I wrote this. So that it’ll be a constant reminder that sometimes it’s okay to expose myself. That sometimes I need to be brave.

Haura Emilia