Drama Screen Time

Hari ini saya dan teman baik saya Mey-Mey ngobrol soal momok menyeramkan orang tua jaman now: screen time. Kami sama-sama berkeluh kesah tentang sulitnya mengatur masalah screen time pada anak (saya dan dia sama-sama punya pre-schooler). πŸ₯²

Menurut AAP (Ikatan Dokter Anak AS), anak usia prasekolah sebaiknya diberikan waktu maksimal 2 jam sehari untuk berinteraksi dengan layar TV/gadget. Anak di bawah 2 tahun malah tidak disarankan dipaparkan pada layar sama sekali.

Waktu screen time yang berlebihan berpotensi menimbulkan banyak masalah pada anak mulai dari speech delay, obesitas, masalah tidur, dan masalah tumbuh kembang lainnya.

Saya kebetulan gak punya TV di rumah, jadi Reina baru saya kenalkan dengan screen time di atas usia 2 tahun, dan sekarang di usia 3,5 tahun saya kasih dia waktu 1-2 jam sehari untuk nonton di iPad. Biasanya ketika saya lagi masak dan beres-beres rumah di pagi hari.

Tab saya setel untuk mati otomatis setelah 1 jam Youtube dan 30 menit Khan Academy (aplikasi belajar). Bahkan setelah 1,5 tahun konsisten menerapkan screen time yang terbatas ini, Reina selalu menangis setiap waktunya habis dan selalu nego minta tambah. Saya gak kasih. Dia kadang sampai nangis guling-guling, tetap saya gak kasih. Kalau sudah tenang baru saya jelaskan kalau waktunya sudah habis dan sekarang waktunya main atau bekerja (dengan material Montessori).

Kadang pengen banget nyerah, tapi kalau ingat mudaratnya, saya tarik nafas panjang aja dan cuma nemenin dia sampai nangisnya selesai walau rasanya pengen marah. Kadang pengen ikutan nangis juga dan pengen sekalian menyingkirkan screen time sama sekali, tapi ini sulit karena sikon.πŸ™„

Jadi jalan keluarnya cuma terus konsisten menerapkan limitasi dan sabar (ugh, susah ya Mom). Mudah-mudahan suatu hari nanti anaknya mudeng dan bisa menerima batasan yang sudah diterapkan.

And Mom, nobody says parenthood is gonna be easy…😭

Cheers,

Haura Emilia

Updates On My Book

Seperti yang sudah saya tulis di postingan terakhir saya di sini, setahun belakangan saya sedang menulis sebuah buku. Fiksi. Gara-gara itulah saya lama gak posting tulisan di sini.

Kenapa saya menulis buku dan fiksi pula? Kenapa gak buku non-fiksi, misalnya buku tentang Montessori berhubung saya baru-baru ini menyelesaikan program Diploma in Early Years Montessori?

Soal kenapa nulis buku itu karena otak saya selalu penuh. Pagi sampai malam, otak saya terlalu berisik, terlalu ribut, penuh dengan anak saya, ledakan ide (ide penting maupun tidak), pemikiran, pertanyaan, kegalauan, kecemasan, sampai ke hal-hal remeh temeh macam nonton konser online BTS atau tidak atau kenapa tukang sayur ganti rute jualan. Menulis membantu saya mengosongkan sebagian ruangan di kepala saya, yang sungguh saya harapkan ada tombol switch on dan off nya, jadi kalau mau tidur saya bisa matikan dulu ruminating thoughts alias pikiran-pikiran intrusif ini.

Kedua, saya mengalami banyak hal dalam hidup yang membuat saya trauma sampai susah sekali move on, mulai dari masalah hubungan personal sampai kematian ayah saya. Saya butuh sesuatu untuk menyalurkan emosi saya. Menulis buku ini ternyata sangat katarsis dan therapeutic buat saya. Saya bisa melampiaskan segala macam emosi ke dalam tulisan sampai hati ini terasa sedikit plong. Saya juga dengar musik sih untuk membantu saya melewati badai emosi, tapi efeknya tidak sedahsyat menulis ini.

Ketiga, saya menulis karena saya rutin membaca buku jadi menulis itu semacam konsekuensi otomatis dari banyak pertanyaan dan jawaban yang saya dapatkan dari membaca. Mungkin ada orang yang mengalami hal yang sama dari menonton film atau melakukan aktivitas seni lainnya. Tapi saya gak suka nonton, mungkin karena otak saya sudah berisik jadi suara-suara dari film bikin telinga dan otak saya semakin berisik. Membaca memaksa saya fokus dalam diam, tanpa suara. Saat membaca, saya terpaksa meredam “kegaduhan” di kepala saya.

Terakhir, kenapa fiksi? Kenapa bukan buku Montessori, misalnya? Karena fiksi memberikan saya lebih banyak kebebasan untuk menyalurkan ide. Ya mungkin saja sih habis ini saya akan nulis buku tentang metode Montessori, tapi sekarang saya mau fokus menyelesaikan satu proyek ini saja. Lagi pula… Saya percaya bahwa menulis fiksi adalah salah satu cara terbaik untuk menuliskan fakta.

Kembali ke judul tulisan ini, jadi sudah berapa jauh saya menulis buku ini? Sejauh ini saya sudah menulis 100.000+ kata. Ini adalah tulisan terpanjang saya. Tesis saya saja dulu cuma sekitar 50 ribuan kata. Terus, novel Harry Potter yang pertama “cuma” 76 ribu kata (saya bukan apa-apa dibanding JK Rowling, saya ngutip word count cuma untuk kasih bayangan sebanyak apa bullshitan yang sudah saya tulisπŸ˜‚). Target saya sih bulan Juli atau Agustus ini selesai. Kalau ada yang bilang ke saya awal tahun 2021 lalu bahwa saya akan menulis buku fiksi 400an halaman, saya pasti ketawa dan bilang “not a chance”. Tapi hidup itu kan lucu, Tuhan (kalau Dia ada) suka komedi dan tragedi. Kali ini saya rasa Sang Higher Power lagi bercanda sama saya, ngasih saya alasan untuk sejenak berhenti meragukan dan merendahkan diri saya sendiri.

Buku ini nantinya paling saya jual dalam format ebook ke siapa pun yang mau baca. Saya berharap sih ada yang mau baca, karena sayang sekali kalau muntahan ide sebanyak itu gak ada yang mau baca.πŸ˜‹

Buku selalu jadi sumber kenyamanan saya, jadi saya harap tulisan saya nantinya juga bisa memberikan efek yang sama ke beberapa orang yang mungkin bisa berempati ke karakter-karakter yang saya bangun di dalamnya. Pikiran negatif saya tapi jujur aja agak pesimis sih, karena jaman sekarang orang semakin malas baca buku dan lebih milih tiktokan atau nonton drama Korea. Tapi sekali lagi, itu urusan belakangan. Karena saya menulis ini terutama dan yang utama adalah untuk diri saya sendiri. Kalau ada yang suka dan berguna buat orang lain, itu poin plus-nya.

Cheers,

Jumat 4 Maret 2022

Haura Emilia Erwin