Seperti yang sudah saya tulis di postingan terakhir saya di sini, setahun belakangan saya sedang menulis sebuah buku. Fiksi. Gara-gara itulah saya lama gak posting tulisan di sini.
Kenapa saya menulis buku dan fiksi pula? Kenapa gak buku non-fiksi, misalnya buku tentang Montessori berhubung saya baru-baru ini menyelesaikan program Diploma in Early Years Montessori?
Soal kenapa nulis buku itu karena otak saya selalu penuh. Pagi sampai malam, otak saya terlalu berisik, terlalu ribut, penuh dengan anak saya, ledakan ide (ide penting maupun tidak), pemikiran, pertanyaan, kegalauan, kecemasan, sampai ke hal-hal remeh temeh macam nonton konser online BTS atau tidak atau kenapa tukang sayur ganti rute jualan. Menulis membantu saya mengosongkan sebagian ruangan di kepala saya, yang sungguh saya harapkan ada tombol switch on dan off nya, jadi kalau mau tidur saya bisa matikan dulu ruminating thoughts alias pikiran-pikiran intrusif ini.
Kedua, saya mengalami banyak hal dalam hidup yang membuat saya trauma sampai susah sekali move on, mulai dari masalah hubungan personal sampai kematian ayah saya. Saya butuh sesuatu untuk menyalurkan emosi saya. Menulis buku ini ternyata sangat katarsis dan therapeutic buat saya. Saya bisa melampiaskan segala macam emosi ke dalam tulisan sampai hati ini terasa sedikit plong. Saya juga dengar musik sih untuk membantu saya melewati badai emosi, tapi efeknya tidak sedahsyat menulis ini.
Ketiga, saya menulis karena saya rutin membaca buku jadi menulis itu semacam konsekuensi otomatis dari banyak pertanyaan dan jawaban yang saya dapatkan dari membaca. Mungkin ada orang yang mengalami hal yang sama dari menonton film atau melakukan aktivitas seni lainnya. Tapi saya gak suka nonton, mungkin karena otak saya sudah berisik jadi suara-suara dari film bikin telinga dan otak saya semakin berisik. Membaca memaksa saya fokus dalam diam, tanpa suara. Saat membaca, saya terpaksa meredam “kegaduhan” di kepala saya.
Terakhir, kenapa fiksi? Kenapa bukan buku Montessori, misalnya? Karena fiksi memberikan saya lebih banyak kebebasan untuk menyalurkan ide. Ya mungkin saja sih habis ini saya akan nulis buku tentang metode Montessori, tapi sekarang saya mau fokus menyelesaikan satu proyek ini saja. Lagi pula… Saya percaya bahwa menulis fiksi adalah salah satu cara terbaik untuk menuliskan fakta.
Kembali ke judul tulisan ini, jadi sudah berapa jauh saya menulis buku ini? Sejauh ini saya sudah menulis 100.000+ kata. Ini adalah tulisan terpanjang saya. Tesis saya saja dulu cuma sekitar 50 ribuan kata. Terus, novel Harry Potter yang pertama “cuma” 76 ribu kata (saya bukan apa-apa dibanding JK Rowling, saya ngutip word count cuma untuk kasih bayangan sebanyak apa bullshitan yang sudah saya tulisπ). Target saya sih bulan Juli atau Agustus ini selesai. Kalau ada yang bilang ke saya awal tahun 2021 lalu bahwa saya akan menulis buku fiksi 400an halaman, saya pasti ketawa dan bilang “not a chance”. Tapi hidup itu kan lucu, Tuhan (kalau Dia ada) suka komedi dan tragedi. Kali ini saya rasa Sang Higher Power lagi bercanda sama saya, ngasih saya alasan untuk sejenak berhenti meragukan dan merendahkan diri saya sendiri.
Buku ini nantinya paling saya jual dalam format ebook ke siapa pun yang mau baca. Saya berharap sih ada yang mau baca, karena sayang sekali kalau muntahan ide sebanyak itu gak ada yang mau baca.π
Buku selalu jadi sumber kenyamanan saya, jadi saya harap tulisan saya nantinya juga bisa memberikan efek yang sama ke beberapa orang yang mungkin bisa berempati ke karakter-karakter yang saya bangun di dalamnya. Pikiran negatif saya tapi jujur aja agak pesimis sih, karena jaman sekarang orang semakin malas baca buku dan lebih milih tiktokan atau nonton drama Korea. Tapi sekali lagi, itu urusan belakangan. Karena saya menulis ini terutama dan yang utama adalah untuk diri saya sendiri. Kalau ada yang suka dan berguna buat orang lain, itu poin plus-nya.
Cheers,
Jumat 4 Maret 2022
Haura Emilia Erwin