Teman

Beberapa waktu lalu sekolah anak saya mengadakan pelatihan psikologi tentang menjadi konselor untuk keluarga untuk para orang tua dan wali murid. Saat itu saya mendapatkan kesempatan mengambil tes kepribadian yang sangat terkenal bernama MBTI. Hasilnya masih sama dengan yang saya dapatkan setahun yang lalu saat mengambil tes yang sama online. Saya adalah seorang INTJ-T.

Saat melihat hasil tes saya, ibu psikolog menyarankan saya untuk mulai membuka diri saya kepada orang lain karena hasil tes itu dan beberapa tes lain menyatakan bahwa saya 100% introvert. Saat itu saya ingin tertawa sinis sedikit dan bilang, “I’m sorry, Mam. But most people I know can’t be trusted. And oh, by the way, with how everything’s going on in our lives these days, with war and all bullshits, don’t we all start losing our faith in humanity?” Tapi saya lalu memilih untuk tidak mengatakan apa-apa, karena saya tidak nyaman membagikan hal yang personal di hadapan sekitar 20an orang asing. Saya datang ke pelatihan itu untuk belajar, bukan untuk curhat atau menyampaikan pandangan pesimis saya tentang apa pun.

Lalu saya pulang ke rumah memikirkan soal ini. Apakah memang benar saya terlalu introvert? Apakah itu alasannya saya hanya memiliki sedikit sekali teman dekat? Atau memang saya sebenarnya tidak memerlukan label introvert untuk menjelaskan kenapa semakin tua teman saya semakin sedikit? Logika saja, toh. Semakin tua lingkup sosial saya semakin mengecil. Saya sudah tidak sekolah dan kuliah lagi. Lalu saya juga sudah tidak bekerja kantoran seperti dulu lagi. Belum lagi suami saya sudah 10 tahun WFH, jadi lingkungan sosial kami memang sangat sempit.

Saya sebenarnya sudah mencoba berkenalan dengan orang-orang baru selama beberapa tahun terakhir. Saya mencoba membuka diri dengan ikut terlibat di acara-acara sekolah anak saya, berkenalan dengan orang tua murid dan menjadi bagian dari acara kumpul-kumpul seperti arisan, dan saya juga aktif ikut kegiatan olahraga seperti yoga di berbagai studio dan gym. Saya pikir saya akan mendapatkan teman-teman baru. Oops.

Dari sekian banyak orang-orang yang saya temui dan kenal belakangan, apa saya akhirnya mendapatkan seseorang yang bisa saya sebut “teman”? Ada. Satu atau dua orang. Itu pun mungkin hampir. Hampir teman. Sisanya? Saya akan menyebut sisanya sebagai “acquaintance” atau terjemahan terdekatnya mungkin “kenalan”.

Kenapa? Apa yang salah? Saya atau mereka? Sama seperti semua manusia di muka bumi, saya percaya kami semua abu-abu. Punya sisi baik, sisi kurang baik, insecurity, kelebihan, dan kekurangan masing-masing. Ada kalanya mereka membuat saya tertawa dan tersenyum lebar, membuat saya bersemangat bertemu, namun ada kalanya juga mereka membuat saya berpikir, “Really??! You really said that? I thought we were friends, or at least got along pretty well.” Saya menyadari bahwa hubungan kami sangat superficial dan transaksional. Dangkal dan hanya terjalin ketika ada goal yang harus kami capai.

Karena beberapa kali kecewa dengan beberapa orang dan situasi, saya memutuskan untuk menjaga jarak. Tidak terlalu dekat tapi tidak menarik diri juga. Seperlunya saja. Tidak benci, tapi juga tidak lagi berharap kami akan menjadi bestie.😬 Benar, akhirnya saya memutuskan untuk menurunkan ekspektasi saya supaya tidak kecewa lagi.

Jadi sekarang kalau bicara tentang teman, ya memang kata itu mengacu kepada orang-orang yang sudah saya kenal sejak jaman purba. Yang sudah saya kenal 15-20an tahun lamanya. Yang selalu ada di saat-saat saya susah. Yang menemani saya di titik-titik terendah dalam hidup saya. Yang membuat saya mengurungkan niat saya untuk mati muda, sesederhana karena saya tidak ingin meneruskan kesedihan saya ke mereka.

Saya sudah tidak mau memaksakan diri untuk mencari teman baru. Berkenalan dengan orang baru tetap saya lakukan tapi dengan lebih santai, tanpa ekspektasi apa-apa, tanpa harapan saya somehow akan menemukan sahabat baru, yang bisa saya bagikan kekonyolan saya hari itu tanpa malu, atau yang bisa saya telepon saat saya sedih. Terdengar menyedihkan? Mungkin. Tapi mungkin juga tidak. Mungkin yang terpenting bukan jumlahnya, tapi kualitasnya. Kualitas pertemanannya. Mungkin memang sebaiknya kita hanya benar-benar berteman dengan orang-orang yang bisa mengeluarkan dan merawat sisi terbaik kita.

Tinggalkan komentar